DECEMBER 9, 2022
Kolom

Karut Marut Infrastruktur Jalan Perlu Pembenahan Sebelum Terapkan Zero ODOL

image
Direktur Eksekutif Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Budi Wiyono (Foto: Istimewa)

ORBITINDONESIA.COM - Penerapan kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Overloading) membutuhkan perbaikan dan standarisasi kelas jalan. Tanpa penyesuaian infrastruktur jalan, implementasi Zero ODOL akan sulit dan berpotensi menimbulkan masalah baru.

Semua pihak pasti setuju terhadap kebijakan Zero ODOL yang bertujuan untuk menghilangkan praktik kendaraan pengangkut barang yang melebihi kapasitas muatan dan dimensi yang diizinkan.

Namun, implementasi kebijakan Zero ODOL tersebut hingga saat ini masih terkendala. Salah satunya karena kondisi jalan yang belum memadai, khususnya di daerah-daerah yang menjadi sentra produksi atau distribusi barang.  

Baca Juga: Menteri PU Dody Hanggodo: Zero ODOL Belum Bisa 100 Persen Dilakukan Saat ini

Dalam acara Focus Group Discussion (FGD) “Mencari Solusi Penerapan Zero ODOL 2026” yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) baru-baru ini, Direktur Eksekutif Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Budi Wiyono, menyampaikan beberapa masalah yang harus diselesaikan terlebih dulu sebelum Zero ODOL ini benar-benar diterapkan.

Salah satunya, menurut dia, adalah adanya perbedaan signifikan antara daya dukung jalan di Indonesia dengan standar internasional, yang membuat penerapan Zero ODOL ini menjadi tantangan tersendiri.

Karenanya, dia menyarankan perlu adanya penyesuaian aturan terkait kelas jalan dan Jembatan Timbang (JBI) agar sesuai dengan kapasitas jalan dan standar Zero ODOL. “Jika ini tidak diperbaiki, Zero ODOL bisa menyebabkan peningkatan biaya logistik, karena membutuhkan lebih banyak truk untuk mengangkut barang yang sama,” ujarnya.

Baca Juga: Pemerintah Mau Benahi Truk ODOL, Aptrindo Tegaskan Harus Ada Roadmap yang Jelas

Dia mengutarakan infrastruktur dan kelas jalan di Indonesia itu banyak yang tidak standar. Artinya, belum disesuaikan dengan perkembangan sistem angkutan secara internasional. “Sebenarnya, kita sudah pernah sampaikan ini ke Bappenas, di mana jalan di Indonesia itu harus ditata. Standar gandar itu harus sesuai dengan perkembangan teknologi,” tuturnya.

Jadi, lanjutnya, kerusakan jalan itu karena memang jalan tidak standar dan kenyataannya seperti itu. Di Eropa saja, menurutnya, mereka sudah menggunakan single tires untuk mengurangi beban.

“Kita harus menyesuaikan seperti itu seharusnya. Jadi, sebenarnya kita juga perlu standar angkutan barang untuk di jalan itu apa.  Truk untuk mengangkut minuman, angkutan pertanian, itu kan kita gak ada standar,” tukasnya.

Baca Juga: Segudang PR Pembenahan ODOL: Dari Hulu ke Hilir, Indonesia Butuh Roadmap yang Jelas

Di acara serupa, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan menegaskan bahwa desain kendaraan yang dipakai di Indonesia itu umumnya berasal dari Eropa dan Amerika.

Jadi, lanjutnya, pemikir-pemikir di luar itu kebanyakan akan membangun kendaraannya dengan membayangkan apa yang akan dilewatinya. Dia mencontohkan seperti Eropa, di mana infrastruktur jalan di sana didesain untuk bisa membuat kendaraan mampu berjalan di atas infrastruktur yang ada.

Seperti diketahui, daya angkut kendaraan (MST) infrastruktur jalan di Eropa itu sudah mencapai 13 ton. Di negara-negara Asia juga banyak yang MST-nya sudah 12 ton. China bahkan MST-nya sudah 14 ton.

Baca Juga: Pakar Trubus Rahadiansyah: Roadmap Komprehensif Wajib Disusun Sebelum Terapkan Kebijakan Zero ODOL

“Lalu kendaraan itu masuklah ke Indonesia yang MST infrastruktur jalannya hanya 8 dan 10 ton. Pastilah itu akan menjadi masalah jika kebijakan Zero ODOL diberlakukan. Kapasitas kendaraan yang kita beli dengan kualitas MST 13 ton harus kita gunakan dengan MST 8 ton, ya jelas akan bermasalah dan secara ekonomi kita juga akan kalah,” katanya.

Menurutnya, masalah infrastruktur jalan ini bahkan akan lebih memberatkan di daerah-daerah jika Zero ODOL diterapkan. Karena, UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan bahwa uji KIR di daerah itu didasarkan atas daya dukung jalan.

“Ini akan berat bagi kota Malang atau Garut misalnya, karena mereka akan mendapatkan MST yang 8 ton. Karena, mobil yang sama dilahirkan di daerah akan tidak sama daya angkutnya dengan yang dikeluarkan di pusat. Sementara, truk-truk itu jalan melalui lintas wilayah. Padahal, di peraturan sebelumnya, yaitu UU Nomor 14 Tahun 1992 ada jalan khusus,” ungkapnya.

Baca Juga: Sanksi Tidak Boleh Diskriminatif, ALFI Jakarta Usulkan Roadmap dan Payung Hukum Yang Jelas Sebelum Zero ODOL

Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Mahendra Rianto. juga menyoroti maintenance atau pemeliharaan jalan tol yang belum pernah dilakukan audit kekuatan jalannya hingga kini. 

“Itu belum pernah ada audit kekuatan jalan tol sampai sekarang. Boleh nggak kita mengaudit jalan tol itu seperti berapa kekuatan sebetulnya, berapa jalan tol yang industri itu, berapa jalan tol yang menghubungkan antar kota, kekuatannya, ketebalannya, dan soal penggunaan materialnya,” katanya.

Pakar Transportasi dari Institut Transportasi & Logistik Trisakti, Suripno, pada acara FGD ini juga menyampaikan pandangannya terkait penyebab carut marutnya sistem transportasi di Indonesia. Dia menyampaikan hal itu terjadi karena kebijakan dan infrastruktur transportasi saat ini yang masih bersifat parsial dan terfragmentasi.

Baca Juga: Pakar Transportasi Djoko Setijowarno: Zero ODOL Tanpa Roadmap Bak Macan Ompong

Menurutnya, sistem transportasi di Indonesia saat ini masih diatur secara sektoral berdasarkan moda transportasi tanpa adanya payung hukum integratif nasional.

Disebutkan, UU No.22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU No.17/2008 tentang Pelayaran, UU No.23/2007 tentang Perkeretaapian, UU No.1/2009 tentang Penerbangan, serta UU No.2/2022 tentang Jalan, tidak saling terkait dan beroperasi sendiri-sendiri.

“Akibatnya, sistem transportasi nasional menjadi parsial, inefisien, dan gagal memenuhi kebutuhan konektivitas antar wilayah, khususnya dalam membangun Indonesia sebagai negara maritim, dan juga tidak mampu menekan biaya logistik” tuturnya.

Baca Juga: Penindakan Saja Tidak Cukup, Perlu Penanganan Holistik Selesaikan ODOL

Lebih jauh lagi, katanya, tidak ada keterkaitan yang jelas dan fungsional antara UU Transportasi dan UU Penataan Ruang, dengan UU Transportasi serta UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam satu aliran proses perencanaan.

Menurutnya, ini menyebabkan tidak ada norma hukum yang mengatur kebutuhan dan tatanan transportasi nasional yang terstruktur dan sistemik yang diturunkan dari rencana tata ruang, dan dijadikan acuan dalam merencanakan pembangunan transportasi berdasarkan UU No.25 Tahun 2004 tentang SPPN (pembangunan transportasi tidak didasarkan cetak biru).

Karenanya, lanjutnya, pembentukan UU Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS) yang terintegrasi, holistik, inklusif, dan terstruktur hingga ke tingkat desa, menjadi sangat mendesak untuk menciptakan perencanaan berbasis kebutuhan (demand-driven), mengharmoniskan transportasi dengan tata ruang, memperkuat negara maritim, dan mewujudkan pemerataan pembangunan nasional. “Ini perlu dibenahi dulu untuk bisa mewujudkan Zero ODOL nantinya,” ucapnya.***

Halaman:

Berita Terkait