DECEMBER 9, 2022
Buku

“Think Like a Monk”: Membongkar Kearifan Sunyi dalam Dunia yang Bising

image

ORBITINDONESIA.COM - Apa yang terjadi ketika seorang pemuda urban yang tumbuh di tengah modernitas Barat memutuskan untuk meninggalkan semuanya dan menjalani kehidupan sebagai biksu di India?

Jay Shetty menjawab pertanyaan ini dengan membagikan pengalamannya melalui buku Think Like a Monk, sebuah karya yang menggabungkan kebijaksanaan kuno dengan kegelisahan kontemporer.

Buku ini bukan sekadar kisah spiritual pribadi, melainkan peta navigasi batin yang memandu pembaca untuk kembali pada diri sendiri—pada esensi terdalam yang sering kali terkubur oleh hiruk pikuk dunia luar.

Baca Juga: Buku Karen Armstrong, The Lost Art of Scripturalism

Dalam tiga bagian besar—Let Go, Grow, dan Give—Shetty mengajak kita melakukan perjalanan ke dalam, menyelami labirin ego, kekhawatiran, dan ekspektasi yang membentuk lanskap psikologis manusia modern.

Let Go: Menanggalkan Topeng Dunia

Pada bagian ini, Shetty mengurai bagaimana manusia dikondisikan sejak kecil untuk mengejar definisi kesuksesan yang dangkal—harta, pengakuan, dan status sosial.

Ia meminjam ajaran Veda dan praktik monastik untuk mengajak kita “menanggalkan topeng” yang tak lagi kita sadari sedang kita kenakan.

Baca Juga: Buku Xi Jinping Jelaskan Cara Membangun Komunitas Manusia yang Berbagi Masa Depan

Salah satu kutipan yang paling menggugah berbunyi: “Kita terlalu sibuk menjadi siapa yang diinginkan dunia, hingga lupa menjadi siapa kita sebenarnya.”

Dalam dunia yang didefinisikan oleh ‘likes’ dan algoritma, pesan ini terasa seperti alarm yang menyadarkan jiwa.

Grow: Menyirami Jiwa, Menemukan Dharma

Bagian Grow adalah jantung buku ini. Di sinilah Shetty menyampaikan konsep dharma, yakni tugas hidup yang berasal dari kombinasi antara potensi batin dan pelayanan kepada sesama.

Baca Juga: Buku Musdah Mulia, Muslimah Reformis: "Sebuah Seruan Kritis dari Hati Nurani Seorang Perempuan”

Menurut Shetty, menemukan dharma bukan soal karier atau tujuan jangka pendek, tapi tentang menjalani hidup yang sejalan dengan nilai-nilai terdalam kita.

Ia juga membahas pentingnya kebiasaan, niat, dan lingkungan dalam membentuk karakter.

Setiap bab disertai latihan meditasi, refleksi, dan journaling, membuat pembaca tak hanya merenung, tapi juga berlatih hidup sadar.

Give: Melampaui Diri, Menyatu dalam Pelayanan

Dalam Give, Shetty mengingatkan bahwa perjalanan spiritual sejati tak berakhir pada transformasi diri, melainkan dilanjutkan dengan kontribusi pada dunia.

Memberi bukan hanya tindakan moral, tapi juga jalan penyembuhan. Empati, kata Shetty, adalah bentuk kebijaksanaan paling tinggi.

Buku ini menutup dengan nada kontemplatif: bahwa makna hidup tak ditemukan, melainkan diciptakan melalui pelayanan yang penuh cinta.

Mengapa Buku Ini Penting?

Buku Think Like a Monk ini memiliki kemampuan menyederhanakan ajaran spiritual kuno dalam bahasa populer tanpa kehilangan kedalaman maknanya.

Shetty menulis dengan sangat personal, relatable, dan tak terkesan menggurui.

Ia merangkul pembaca dari berbagai latar belakang—religius maupun sekuler, muda atau tua—dan mengajak mereka berjalan dalam proses mengenal diri.

Namun, bagi pembaca yang terbiasa dengan literatur spiritual yang lebih filosofis atau akademik, buku ini mungkin terasa “terlalu mudah.”

Beberapa bagian terlihat terlalu motivasional dan repetitif. Ada juga kecenderungan untuk menggeneralisasi pengalaman monastik dalam formula kebahagiaan yang universal, padahal perjalanan batin tiap orang bersifat unik.

Di era burnout, krisis eksistensial, dan kejenuhan digital, Think Like a Monk hadir sebagai suara pelan yang penuh makna. I

a tidak menjanjikan hidup tanpa masalah, tetapi menawarkan cara menghadapi dunia dengan kesadaran penuh, kasih, dan keberanian untuk hidup otentik.

Buku ini penting bukan karena menjawab semua pertanyaan, tetapi karena ia menuntun pembaca untuk mulai bertanya hal-hal yang selama ini kita hindari: Siapa aku? Untuk apa aku hidup? Dan apa yang benar-benar membuatku damai?

Jay Shetty mengingatkan kita bahwa menjadi bijaksana bukan soal menjadi sempurna, melainkan tentang membangun ruang keheningan di dalam diri agar kita mampu mendengar dengan jernih: suara hati, suara dunia, dan suara semesta.***

 

Halaman:

Berita Terkait