Esai Haji: Ziarah dalam Gelap, Tawaf Lelaki Buta di Depan Ka'bah
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Selasa, 17 Juni 2025 11:02 WIB

Oleh Elza Peldi Taher*
ORBITINDONESIA.COM - Menjelang Magrib di Masjidil Haram, 15 Juni 2025, udara terasa hangat, tapi tidak sesak. Langit mulai memudar warnanya, dari putih bersih menuju jingga yang malu-malu. Kami—aku, isteriku, dan rombongan—bergerak perlahan di antara pusaran tawaf yang tak pernah berhenti.
Di tengah lingkaran ribuan manusia yang mengelilingi Ka'bah, tubuh-tubuh berbaur menjadi satu irama: berjalan, berdoa, berzikir, sebagian hanya diam dengan mata berkaca.
Baca Juga: RESMI, Ini Informasi Lengkap Besaran BPIH dan Bipih Tahun 2023 Tiap Embarkasi Haji Seluruh Indonesia
Di depanku, ada seorang lelaki tua yang menarik perhatianku. Ia berjalan pelan, agak membungkuk. Langkah-langkahnya seperti gelombang kecil yang tenang menghampiri pantai: tak tergesa, tak terguncang.
Lelaki itu membaca doa-doa lirih dalam bahasa yang tak kukenal, mungkin bahasa ibunya yang jauh dari benua Afrika. Kulitnya legam, tubuhnya tinggi, tongkat kayu sederhana tergenggam erat di tangannya.
Ia tak peduli dilewati banyak orang. Sama sekali tak terganggu. Ketika banyak orang terburu-buru, menyeruak kerumunan, memotong tanpa ampun, lelaki ini seperti berjalan dalam dunianya sendiri. Dunia yang hening. Dunia yang tahu arah meski tak tahu rupa.
Baca Juga: Menag Nasaruddin Umar Minta Jemaah Calon Haji Hindari Aktivitas Tak Esensial Ketika di Mina
Aku dan isteriku mengikuti langkahnya. Awalnya karena laju kami sejalan. Tapi makin lama, aku seperti tertarik untuk mengamati lebih jauh. Ada sesuatu dari dirinya yang tak biasa: ketenangan yang tak dibuat-buat. Keikhlasan yang nyaris menular.
Pada satu momen, karena irama thawaf memisahkan kami, aku dan isteriku berjalan lebih cepat dan menyalipnya dari sisi kiri. Ketika menoleh ke belakang, dadaku seperti ditarik sesuatu. Mataku tak berkedip.
Lelaki itu... buta.
Aku dan isteriku saling berpandangan. Kami terperangah.
“Lelaki itu buta,” bisik isteriku. Suaranya tercekat.
Baca Juga: Hampir Dua Juta Jemaah Muslim Dari Seluruh Dunia Memulai Ibadah Haji di Arab Saudi
Aku gemetar. Aku ingin mengangkat ponsel dan mengabadikan sosok itu, tapi tanganku tak sanggup. “Ia bicara dengan Tuhan,” kata hati kecilku, “bukan dengan kamera dunia.” Ada rasa malu, bahkan bersalah. Bagaimana mungkin aku mengabadikan seseorang yang justru sedang mengajarkanku arti pengabdian?