DECEMBER 9, 2022
Kolom

Tulisan Menyambut Hari Lahir Pancasila: Paham Negara Integralistik

image
Dr. Manuel Kaisiepo, S.IP. MH., Dosen Program Doktor Hukum (PDH) Universitas Kristen Indonesia (Foto: Kompas)

Menurut Bourchier, dengan pemikiran yang berakar pada ide organisisme Barat dan juga cocok dengan paham "kekeluargaan" dari militer Jepang, maka pemikiran Soepomo agak mengabaikan hak-hak individual. Dalam hal ini dia kerap berbeda dengan Hatta saat pembahasan UUD 1945.

Menurut Bourchier, Soepomo dan para ahli hukum Indonesia saat itu memang kuat dipengaruhi romantisisme Jerman dan paham organik di Eropa, dan merekalah yang memberikan basis teoritis untuk negara integralistik. 

Pemikiran mereka juga muncul kembali pada era Orde Baru yang otoritarian. Tapi otoritarianisme Orde Baru bukanlah semata warisan romantisisme Jerman dan fasisme Jepang. Dia juga berakar dalam tradisi politik patrimonial Indonesia (Jawa) masa lalu.

Baca Juga: Politik Luar Negeri yang Bebas Aktif dan Diplomasi Pancasila Indonesia

Seperti pernah ditunjukkan sejarawan Harry J. Benda ketika mengkritik buku Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962). 

Menurut Benda, tendensi otoritarian dalam politik Indonesia sebenarnya hanya kembali ke dasar "procrustean". Benda mengkritik Feith yang dianggapnya terlampau memaksakan standar demokrasi Barat yang tidak punya dasar pijak pada sebuah negara yang mewarisi sejarah dan tradisi otoritarian patrimonial.

Apapun bobot perdebatan tentang konsep negara integralistik, harus diakui bahwa Soepomo adalah seorang pemikir brilian dalam bidang hukum,  kenegaraan, dan filsafat.

Baca Juga: Geledah Rumah Ketua Umum Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarmo, KPK Sita 11 Mobil

Tapi Soepomo tidak sendirian. Ada banyak pemikir hebat yang bersamanya terlibat diskusi intens, beradu argumen dalam persidangan BPUPKI dan PPKI  sepanjang Mei - Agustus 1945. Dalam keterdesakan waktu, mereka intens merumuskan konstitusi, serta dasar dan bentuk negara. 

Pemikiran Soepomo dan kawan-kawan dalam sidang-sidang bersejarah BPUPKI dan PPKI tersebut kini sudah dapat dibaca kembali dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, 28 Mei 1945 - 22 Agustus 1945 (diterbitkan ulang oleh Setneg RI, 1998; dan Aliansi Kebangsaan, 2014.

Dibaca dalam perspektif intelektual saat ini, pertukaran pemikiran dalam buku ini sungguh suatu opus magnum,  mahakarya sejarah pemikiran politik dari para negarawan pemimpin politik sekaligus pemikir hebat, bagian dari suatu generasi "raksasa".

Baca Juga: Inilah Mobil Mewah dan Uang Rp56 Miliar yang Disita KPK dari Rumah Ketua Umum Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarmo

Tapi masihkah dokumen semacam itu dibaca generasi sekarang ?

Halaman:

Berita Terkait