Mengapa Kita Selalu Kalah? Sebuah Panggilan Bangun untuk Indonesia
- Penulis : M. Ulil Albab
- Minggu, 25 Mei 2025 04:01 WIB

Jawabannya bukan misteri. Bahkan tidak rumit.
Kita tidak serius.
Birokrasi kita adalah labirin perizinan yang dipenuhi inefisiensi, rente, dan ketidakpastian. Pemimpin kita reaktif, bukan proaktif. Kita terlalu sibuk bermain sandiwara moral sampai lupa pada realitas ekonomi.
Baca Juga: KPK Sebut Lukas Enembe Punya Aliran Dana ke Kasino, Jumlahnya Fantastis
Pemerintah hanya mendukung proyek-proyek visioner jika ada keuntungan politik. Investor diperlakukan dengan curiga, bukan dengan sambutan. Aturan berubah di tengah jalan. Kemitraan mati dalam rapat-rapat tanpa akhir. Inisiatif publik-swasta tenggelam dalam tumpukan administrasi.
Dan yang paling parah: Kita takut perubahan.
Kita melindungi sistem usang. Kita terobsesi pada kontrol. Kita takut kehilangan muka. Kita politisasi segalanya—dari hiburan, kesehatan, sampai infrastruktur. Sementara kawasan lain bermain untuk menang.
Singapura hanyalah pulau kecil tanpa sumber daya alam. Malaysia punya keragaman budaya, etnis, dan agama yang sama kompleksnya dengan kita. Thailand lebih sering kudeta daripada pemilu. Tapi mereka berhasil melakukan hal-hal yang masih kita anggap mimpi.
Indonesia, sebaliknya, adalah raksasa tidur yang menolak untuk bangun.
Kita punya talenta. Kita punya kekayaan alam. Kita punya skala. Tapi kita tidak punya visi yang jelas. Kita tidak melayani rakyat. Kita hanya mengelola, tapi tidak memimpin. Kita patuh pada aturan—tanpa pernah bertanya apakah aturan itu dibuat untuk kemajuan atau justru untuk kebuntuan.
Jika kita ingin berhenti kalah, saatnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan menyakitkan. Saatnya bersikap jujur secara brutal.
Baca Juga: Arab Saudi Membangun Kasino Demi Perdamaian Israel dan Palestina
Apa sebenarnya prioritas kita?
Mengapa kita takut pada keterbukaan?
Kapan kita berhenti takut untuk menang?