Catatan Denny JA: Papua yang Luka dan Melahirkan Puisi
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 20 Mei 2025 19:31 WIB

Untuk Esther Haluk
ORBITINDONESIA.COM - “Robek nuraninya dengan penamu,
bagi dukamu dengan untaian kata,
karena kata adalah senjata terakhirmu.”
— Esther Haluk
Di Papua, peluru kadang meluncur lebih cepat daripada keadilan. Tapi kata-kata, seperti yang ditulis Ester Haluk, melaju lebih jauh daripada peluru itu sendiri.
Esther Haluk bukan hanya meratap, tapi melawan. Melalui puisi, ia mengajak rakyatnya untuk mengambil kembali ruang yang dirampas. Bukan dengan amarah membabi buta, tapi dengan pena yang tajam dan hati yang jernih.
Puisi Esther bukan dari renungan di menara gading. Ia anak kandung jiwa yang sedang terkepung oleh pengalaman derita.
Kalimat “robek nuraninya dengan penamu” adalah seruan untuk mengoyak diam yang selama ini menjadi warisan paksa.
“Bagi dukamu dengan untaian kata” menjadi ajakan membuka luka bersama, agar menjadi kekuatan kolektif.
Dan “kata adalah senjata terakhirmu” itu peringatan bahwa ketika seluruh ruang sudah dibungkam, hanya puisi yang masih bisa berteriak.
-000-
Papua itu tanah yang diberkahi alam, tapi dikutuk oleh sistem. Dalam istilah Richard Auty: Resources Curse. Sebuah tanah kaya yang justru memiskinkan anak-anaknya.
Data tak bisa dibantah: 1.900 ton emas dan tembaga, senilai 2.200 triliun rupiah, sudah digali dari bumi Papua. Namun, provinsi Papua termiskin dari seluruh provinsi Indonesia.
Diukur dari versi BPS, garis kemiskinan Indonesia hanya Rp 630.000 per bulan. Itu sekitar 34% dari standar Bank Dunia, kemiskinan di daerah pegunungan Papua di atas 25 persen. (1)
Rakyat Papua pun hidup dalam kesenjangan: harapan hidup lebih rendah, angka pendidikan lebih buruk, dan pelayanan publik jauh dari layak. Ini bukan hanya kegagalan ekonomi, tapi juga kegagalan moral.
Namun, justru dari tanah derita inilah, lahir suara-suara yang menggetarkan. Esther Haluk tak sendiri. Sejarah telah mencatat: di tengah luka, seni seringkali menjadi pelita.
Di Amerika Serikat, di era ketika diskriminasi rasial atas kulit hitam menyala di tahun 196”-an, Langston Hughes menulis:
“Akulah si Negro yang memanggul bekas luka perbudakan.”
Puisinya menjadi nyala bagi Martin Luther King.
Di Palestina, yang penduduknya terjajah, Mahmoud Darwish menulis:
“Kalau aku lapar,
daging penindasku akan jadi makananku…
Hati-hatilah dengan lapar dan marahku.”
Puisinya menjadi mimbar bagi bangsa yang terjajah.
Di Chili, di era represi militer, Pablo Neruda menyerukan:
“Bangkitlah, lahir bersamaku, saudaraku…”
Puisinya menjadi pengikat rakyat dalam perjuangan.
Dan kini, di Papua, Esther Haluk berdiri dalam barisan itu.
-000-
Mengapa di wilayah yang penuh luka dan derita, lahir puisi protes yang mendalam?
Ada tiga alasan abadi:
1. Karena luka membuat kata lebih jujur.
Derita menanggalkan kepura-puraan. Dari dasar luka, lahir kejujuran yang tak bisa dibeli.
2. Karena duka mengasah batin.
Penderitaan memperdalam empati dan intuisi. Kata yang lahir dari batin yang terasah mampu menembus dinding-dinding apatis.
3. Karena keputusasaan butuh harapan.
Ketika tidak ada lagi yang bisa dipegang, puisi menjadi sandaran terakhir. Ia adalah lentera yang menyala dalam gelap.
Itulah mengapa Denny JA Foundation, melalui program dana abadi 50 tahun ke depan, memilih Ester Haluk sebagai penerima kategori Fiksi. Ester Haluk mendapatkan Dermakata Award 2024.
Ia tak sekadar menulis. Ia menulis untuk mengguncang.
Ia tak sekadar bersuara. Ia membuat gema.
Esther Haluk bukan hanya perempuan Papua,
tapi wajah dari sebuah tanah yang menolak dikubur dalam diam.
-000-
Esther Haluk mengingatkan kita bahwa kata bukanlah pelarian. Ia adalah perlawanan. Ketika sejarah ditulis oleh penguasa, puisi seperti milik Ester menjadi kontra-narasi yang hidup.
Di tanah yang diberkati emas,
namun anak-anaknya kelaparan,
di tanah yang penuh tambang,
tapi rakyatnya ditambang air matanya,
puisi menjadi senjata terakhir.
Dan Esther Haluk,
adalah pejuang yang memilih pena,
bukan karena ia lemah,
tapi karena ia tahu:
“kata adalah senjata terakhirmu.”***
Jakarta 20 Mei 2025
CATATAN
(1) Kemiskinan di pengunungan Papua di atas 25 persen
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World