Catatan Denny JA: Papua yang Luka dan Melahirkan Puisi
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 20 Mei 2025 19:31 WIB

Dan “kata adalah senjata terakhirmu” itu peringatan bahwa ketika seluruh ruang sudah dibungkam, hanya puisi yang masih bisa berteriak.
-000-
Papua itu tanah yang diberkahi alam, tapi dikutuk oleh sistem. Dalam istilah Richard Auty: Resources Curse. Sebuah tanah kaya yang justru memiskinkan anak-anaknya.
Data tak bisa dibantah: 1.900 ton emas dan tembaga, senilai 2.200 triliun rupiah, sudah digali dari bumi Papua. Namun, provinsi Papua termiskin dari seluruh provinsi Indonesia.
Diukur dari versi BPS, garis kemiskinan Indonesia hanya Rp 630.000 per bulan. Itu sekitar 34% dari standar Bank Dunia, kemiskinan di daerah pegunungan Papua di atas 25 persen. (1)
Rakyat Papua pun hidup dalam kesenjangan: harapan hidup lebih rendah, angka pendidikan lebih buruk, dan pelayanan publik jauh dari layak. Ini bukan hanya kegagalan ekonomi, tapi juga kegagalan moral.
Namun, justru dari tanah derita inilah, lahir suara-suara yang menggetarkan. Esther Haluk tak sendiri. Sejarah telah mencatat: di tengah luka, seni seringkali menjadi pelita.
Di Amerika Serikat, di era ketika diskriminasi rasial atas kulit hitam menyala di tahun 196”-an, Langston Hughes menulis:
“Akulah si Negro yang memanggul bekas luka perbudakan.”
Puisinya menjadi nyala bagi Martin Luther King.