DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Penentu Utama Meraih Mimpi

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Menyambut Aplikasi Knowing Myself+Healing LSI Denny JA (9)

ORBITINDONESIA.COM - Pada musim dingin tahun 1993,

di tengah kesunyian asrama tua di New Haven,

seorang mahasiswi muda, Angela Duckworth, memandangi dinding kamarnya.

Ia baru saja menyelesaikan studi sarjana di Harvard.

Kini di Yale Law School,

kegelisahan itu membayangi pikirannya tanpa ampun.

Di satu sisi, ia tahu ia pintar.

Nilainya cemerlang. Ujian hukum, ia lalui nyaris tanpa cela.

Namun di sisi lain, ada sesuatu yang kosong—

sebuah kehampaan yang tak bisa diisi oleh kecerdasan semata.

“Mengapa sebagian orang yang cerdas gagal,”

“sementara yang lain, tanpa kecemerlangan luar biasa, perlahan tapi pasti, mencapai puncak?”

tanyanya dalam keheningan.

Dari malam-malam penuh gelisah itu,

lahirlah obor pencarian panjang.

Ini kelak membakar dunia psikologi modern dengan satu kata sederhana: Grit.

-000-

Kisah Angela Duckworth kembali teringat ketika bersama tim LSI Denny JA,

saya menyusun tes soal ketangguhan. Tes ini diinspirasi oleh GRIT,

dan dikombinasikan dengan 14 tes lainnya.

Dengan kekuatan AI, aplikasi ini bisa diakses 24 jam sehari,

7 hari seminggu, di mana saja, dalam 28 bahasa.

Pada dekade 1990-an, psikologi masih berdiri di altar IQ.

Kecerdasan kognitif dipuja.

Tes standar menentukan siapa yang akan dipuji, siapa yang akan dilupakan.

Namun ada kegelisahan sunyi di antara para guru, pelatih militer, dan psikolog:

“Mengapa siswa ber-IQ tinggi justru gagal menaklukkan dunia?”

Angela Duckworth, setelah keluar dari Yale,

mengajar matematika di sekolah-sekolah umum dan elite.

Di sana ia melihat dengan mata kepala sendiri:

murid-murid terbaik bukan selalu yang terpintar,

melainkan mereka yang gigih,

yang tidak menyerah,

yang terus berjalan meski dunia mematahkan semangat mereka.

Angela kembali ke dunia akademis.

Di University of Pennsylvania, bersama Martin Seligman—pelopor Psikologi Positif—

ia merumuskan pertanyaan yang mengguncang dasar asumsi lama:

“Apa yang membuat seseorang tetap berjalan ketika semua alasan untuk berhenti sudah tersedia?”

Dari pertanyaan itu lahir satu konsep revolusioner: Grit.

Pada tahun 2007, Angela menerbitkan makalah ilmiah pertamanya.

Pada tahun 2016, bukunya Grit: The Power of Passion and Perseverance membakar inspirasi dunia [1].

-000-

Bagaimana mengukur sesuatu yang tak kasat mata?

Bagaimana mengukur kekuatan jiwa, yang hanya tampak dalam keheningan perjuangan?

Duckworth mengembangkan Grit Scale,

sebuah instrumen psikometri yang mengukur dua dimensi:

1. Persistence of Effort

—ketekunan untuk terus mendayung, meski badai menggulung.

2. Consistency of Interests

—kesetiaan untuk mencintai satu cita-cita dalam perjalanan panjang, tanpa mudah berpaling.

Melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif,

Grit Scale berhasil membaca ketangguhan:

• Ketahanan kadet militer saat latihan menggerus jiwa,

• Keteguhan siswa menembus tembok kegagalan,

• Keuletan entrepreneur membangun impian dari abu kehancuran.

Grit bukan sekadar kerja keras.

Ia adalah kombinasi antara cinta yang membara dan ketekunan yang tak kenal menyerah.

Yang paling mengejutkan dunia:

Grit lebih menentukan kesuksesan dibanding IQ, bakat alami, atau status sosial.

-000-

Sejak kelahirannya, Grit menembus batas akademik,

menjadi gerakan diam yang mengubah banyak kehidupan.

• Di Pendidikan:

Sekolah-sekolah mengajarkan bahwa kegagalan adalah guru,

dan perjalanan lebih penting daripada sekadar hasil.

• Di Dunia Bisnis:

Perusahaan-perusahaan menanamkan budaya:

bangkit, bangkit lagi, dan bangkit sekali lagi.

• Dalam Neurologi:

Penelitian MRI menemukan:

otak mereka yang ber-Grit kuat lebih tahan terhadap ketidakpastian,

lebih sabar terhadap imbalan yang tertunda,

lebih kokoh menahan gelombang impuls sesaat.

• Dalam Psikologi Positif:

Grit menjadi pilar sejajar dengan flow, growth mindset, dan resilience.

Di dunia yang memuja hasil cepat,

Grit mengajarkan kearifan kuno:

keberhasilan sejati lahir dari cinta panjang terhadap satu perjalanan.

-000-

Imajinasikan kisah ini. Di sebuah gang sempit di Surabaya,

hidup seorang pemuda bernama Rafi.

Ayahnya buruh harian.

Ibunya menjual gorengan keliling.

Suatu malam, saat ibunya demam tinggi,

Rafi menggantikan ibunya menjajakan gorengan ke kampung sebelah.

Ia hanya pulang dengan sisa dua potong,

dan satu cita-cita yang makin keras menendang dadanya:

“Aku harus kuliah.”

Sejak kecil, Rafi tahu dunia tak menyiapkan karpet merah untuknya.

Namun di dalam hatinya,

ada sesuatu yang tak pernah padam:

keyakinan keras kepala bahwa ia bisa mengubah takdir.

Di SMP, ia mengantar koran sebelum matahari terbit.

Di SMA, ia berjualan pulsa demi membeli buku pelajaran.

Saat banyak teman memilih menyerah,

Rafi mempererat ikat pinggang mimpinya.

Suatu hari, seorang guru memperkenalkannya pada aplikasi Knowing Myself+Healing dari LSI Denny JA.

Di sana, ia mengikuti serangkaian tes, termasuk Grit Test.

Hasilnya:

Skor Grit Rafi masuk 10% tertinggi.

Itu cermin yang meneguhkan.

Mungkin ia tidak dilahirkan dengan bakat luar biasa.

Namun ia memiliki ketangguhan jiwa—anugerah paling mahal di dunia.

Tahun-tahun berlalu.

Pada waktunya, Rafi berdiri sebagai dosen muda di sebuah perguruan tinggi negeri,

mengajarkan satu pesan sederhana:

“Mimpi itu bukan soal terbang tinggi,” katanya,

“melainkan soal berani berjalan, walau kaki berdarah.”

Dan semua itu bermula dari satu keberanian kecil:

percaya bahwa kesetiaan pada perjalanan lebih suci daripada kilatan kemenangan instan.

-000-

Namun, di balik ketangguhan individu, dunia perlu bertanya:

apakah kita membangun jembatan bagi mereka untuk berjuang?

Data penelitian terbaru (Duckworth, 2023)

[2] mengungkap:

Grit tumbuh subur di tanah yang disiram akses pendidikan, dukungan komunitas,

dan kebijakan yang memberdayakan.

Lihatlah Jepang dengan program Körei

Gakushu-nya. Ini 

pelatihan ketekunan berbasis neurosains untuk remaja marginal.

Atau Singapura yang menyulam Grit ke dalam kurikulum sejak taman kanak-kanak.

Di dunia yang lapar akan kemenangan cepat,

Grit mengajarkan kesabaran suci.

Bahwa:

• Kejayaan bukanlah kilat yang datang semalam,

melainkan tetesan peluh selama bertahun-tahun.

• Kemenangan bukanlah milik yang tercepat,

melainkan milik yang tak pernah berhenti berjalan.

• Kebesaran tidak lahir dari keberuntungan,

tapi dari kesetiaan pada jalan sunyi, jalan panjang.

Grit adalah cinta panjang terhadap cita-cita.

Cinta yang tetap berdetak meski dunia berpaling.

Cinta yang bertahan, bahkan saat kegagalan mengepung.

Tanpa Grit, bakat hanyalah kapal indah tanpa layar.

Tanpa Grit, kecerdasan hanyalah peta tanpa perjalanan.

Dalam perjalanan hidup,

Grit menjadi teman sunyi yang setia,

yang membisikkan:

“Teruslah berjalan. Aku bersamamu.”

-000-

Hidup adalah samudra yang penuh badai.

Akan ada masa layar koyak,

ombak menggulung,

bintang-bintang menghilang.

Saat itu tiba:

IQ akan goyah,

bakat akan ragu,

keberuntungan akan pergi.

Namun Grit,

seperti jangkar tak terlihat di dasar samudra,

akan berbisik lembut:

“Teruslah mendayung. Ini belum akhir.”

Dan mungkin, suatu hari,

di seberang cakrawala yang tak tampak hari ini,

kita menemukan: kapal kecil kita.

Ingatlah:

kapal ini nyaris karam berkali-kali.

Namun akhirnya ia mendarat di pulau impian.

Bukan karena kita lebih pintar.

Bukan karena kita lebih kuat.

Tetapi karena kita tidak pernah menyerah.***

Jakarta, 19 April 2025

CATATAN

(1): Angela Duckworth. Grit: The Power of Passion and Perseverance. Scribner, 2016.

(2: Duckworth, A. (2023). “Angela Duckworth Explains What Teachers Misunderstand About Grit.” 

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/185EZ84MwP/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait