DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Ketika Nanti Amerika Serikat Mengakui Negara Palestina Tanpa Hamas

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Analisis Kunjungan Presiden USA Donald Trump ke Timur Tengah

ORBITINDONESIA.COM - Di sebuah sudut sempit kamp pengungsian Jabalia, Gaza, seorang anak perempuan bernama Amina duduk di atas puing-puing rumahnya yang hancur.

Matanya menatap kosong ke langit yang dipenuhi asap, sementara tangannya menggenggam boneka lusuh yang selamat dari reruntuhan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Memahami Kecenderungan Politik dari Dalam Diri

Amina baru tujuh tahun. Tapi dunia yang ia kenal bukanlah taman bermain, melainkan reruntuhan dan gemuruh drone di malam hari. Ia telah menyaksikan lebih banyak kehancuran dibanding sebagian besar manusia dewasa.

Kisah Amina bukan hanya kisah satu anak. Ia simbol dari jutaan warga Palestina yang hidup dalam kepungan ketidakpastian.

Setiap pagi mereka bangun dengan kecemasan. Setiap malam menjadi doa agar langit tidak runtuh di atas mereka.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Bill Gates Versus Elon Musk, Dua Jalan Peradaban

-000-

Pada Mei 2025, Presiden Donald Trump melakukan lawatan monumental ke Timur Tengah. Ini mencakup Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab.

Namun ini bukan sekadar kunjungan kehormatan atau diplomasi seremonial. Trump membawa pulang kesepakatan bisnis senilai lebih dari $2 triliun, termasuk $600 miliar dari Arab Saudi dan $1,2 triliun dari Qatar. [1]

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mereka Menemukan Cinta dan Menikah dalam Komunitas Puisi Esai

Angka ini mencengangkan. Jika dirupiahkan, setara Rp 32.000 triliun. Itu sekitar 9,6 kali total APBN Indonesia tahun 2025. Dengan jumlah ini, satu dekade keuangan negara bisa tergantikan hanya oleh satu transaksi geopolitik.

Namun di balik angka yang mencorong itu, ada gema agenda tersembunyi. Trump tampaknya memberi sinyal kesiapan untuk mengakui negara Palestina, namun dengan satu syarat utama: tanpa Hamas.

Ini bukanlah Two-State Solution seperti yang diidealkan Oslo. Ini adalah versi baru, pragmatis, dingin, dan penuh kalkulasi. Katakanlah ini: Two-State Solution 2.0.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menemukan Jalan Karier Sejati

Kerangka barunya, jika saya analisis, mungkin seperti ini:

* Pengakuan Palestina sebagai negara — Amerika Serikat (AS) bersedia mengakui Palestina sebagai entitas berdaulat, asalkan pemerintahan di dalamnya tidak diisi Hamas.

* Zona Gaza bebas militan — Gaza harus dibersihkan dari kelompok bersenjata. Sebagai gantinya, dibangun infrastruktur baru dengan investasi internasional.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Akhirnya yang Menang adalah Cinta

* Penyempurnaan Kesepakatan Abraham — Negara-negara Arab didorong menormalisasi hubungan dengan Israel, sebagai imbalan atas stabilitas dan bantuan ekonomi.

* Iran sebagai musuh bersama — Aliansi regional diperkuat, menjadikan Iran sebagai poros ancaman demi membangun narasi “stabilitas kawasan”.

-000-

Strategi Trump mencerminkan realpolitik yang paling telanjang: diplomasi ditukar dengan dolar, perdamaian dijinakkan lewat peta investasi.

Tentu saja, secara pragmatis, pendekatan ini bisa mengubah dinamika kawasan. Konflik disulap menjadi proyek infrastruktur. Musuh dipisahkan dari rakyatnya. Politik dibungkus dalam retorika “rekonstruksi dan perdamaian”.

Namun, pertanyaan mendasarnya tetap menganga: apakah keadilan bisa dibangun di atas penghapusan suara yang tidak disukai?

Hamas memang kontroversial. Namun di Gaza, mereka juga menang Pemilu secara demokratis pada 2006. [2]

Menghapus mereka sepihak berarti membungkam pilihan politik sebagian rakyat Palestina.

Lebih jauh lagi, apakah perdamaian yang dibeli dengan pengucilan dan tekanan ekonomi adalah perdamaian yang sungguh-sungguh—atau hanya senyap sementara sebelum badai yang baru?

-000-

Di sinilah kembali pentingnya suara Amina. Ia bukan anggota Hamas. Ia bukan elite politik. Ia hanya seorang anak yang ingin bermain tanpa takut pada langit.

Di balik setiap kebijakan, ada wajah. Di balik setiap triliun, ada tangis. Dunia sering lupa bahwa angka-angka itu tak akan pernah mencium debu di Gaza.

Maka, jika nanti benar Amerika mengakui Palestina tanpa Hamas, dunia mesti bertanya: apakah Amina akan benar-benar lebih aman?

Apakah ia akan tersenyum di antara puing-puing yang berganti jadi jalan raya? Atau hanya menjadi saksi baru dari konflik lama dengan kemasan baru?

Perdamaian bukan sekadar kesepakatan di meja bundar. Ia adalah hak yang harus tumbuh dari keadilan—bukan dari kompromi yang membungkam.

Semoga dunia tak melupakan bahwa di antara diplomasi, investasi, dan strategi geopolitik, ada mata kecil seperti milik Amina yang menatap ke langit.

Ia masih menanti langit yang tidak lagi berwarna abu-abu.

Langit yang bisa dipercayai, bukan hanya ditatap dengan cemas. Langit yang menjadi milik semua anak, bukan hanya milik para pemenang perang.

Namun, langit tak hanya milik Amina. Ia adalah atap harapan bagi setiap anak di bumi yang retak.

Di balik reruntuhan, mereka menanam mimpi. Bahwa suatu hari, dunia memilih keberanian untuk berpihak pada kemanusiaan.

Bukan pada peta, bukan pada senjata, bukan pada angka.***

Jakarta, 18 Mei 2025

CATATAN

[1]: Fact Sheet: President Donald J. Trump Secures Historic $1.2 Trillion Economic Commitment in Qatar – The White House.

[2]: “Hamas Wins Palestinian Legislative Elections,” BBC News, 26 Januari 2006.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1BZYf1fqGH/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait