DECEMBER 9, 2022
Kolom

Tuhan Tanpa Tuhan: Failed Hypothesis?

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Oleh ReO Fiksiwan

ORBITINDONESIA.COM - “Kepercayaan adalah taruhan yang bijak. Jika memang iman tidak dapat dibuktikan, apa ruginya jika Anda bertaruh pada kebenarannya dan ternyata itu salah? Jika Anda menang, Anda menang semuanya; jika Anda kalah, Anda tidak kehilangan apa pun. Maka, bertaruhlah tanpa ragu-ragu, bahwa Dia ada.” — Blaise Pascal(1623-1662), Pensées(1670).

Meski didaulat Mahabesar (Omnipotent), tak satupun definisi tetang Tuhan yang sempurna dan paripurna. Lantas definisi apa yang pas untuk mendeskripsi tentang Dia?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengenali Tipe Personality, Perjalanan Pulang Menuju Diri

Sejak rasio tumbuh — logos (pengetahuan atau kognisi) — dan meninggalkan abad iqnoramus, hipotesis Tuhan malah menjadi lebih rumit dibahas. Apalagi, untuk diyakini.

Sekalipun dengan fasilitas filsafat, teologi dan sains akhir-akhir ini, pembuktian atas Tuhan yang diyakini masih terus dipersoalkan.

Padahal, ada 83 persen (5,3 miliar) manusia yang masih memercayainya dengan berbagai varian dan predikat (Agustin Fuentes, The Creative Spark: How Imagination Made Humans Exceptional, 2017).

Baca Juga: Catatan Denny JA: Paus Baru di Era Artificial Intelligence

Kecuali negara Ceko dan Korea Utara di atas 70 persen ateis, sisanya masih di atas 52 persen percaya ada Tuhan (ateisme) dan rata-rata ateis itu, para sainstis.

Sebut saja, mendiang Stephen Hawking, Christopher Hitchean, Daniel Dennet, Daniel Kahnamen dan Richard Dawkins (84), Neil deGrasse Tyson (66) maupun Sam Harris (56).

Mengapa rata-rata ateis itu kebanyakan para sainstis? Selain disikapi, buku-buku mereka telah mempromosikan tidak ada Tuhan dengan argumen dan hipotesis.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Memahami Kecenderungan Politik dari Dalam Diri

Di antaranya, bukti astrofisika soal 'blackhole' (Hawking; deGrasse Tyson), God No Great (Hitchean), The God Delusion sampai Outgrowing of God (Dawkins), The End of The Faith (Sam Harris), Kinds of Mind (Dennet), God of Mind (Paul Davies), serta God Failed Hypothesis (Victor Stenger), sampai God After Darwin (John F. Haught).

Pihak sainstis mempromosikan ada Tuhan (teisme), bisa dirujuk kepada Karen Armstrong (History of God), Dhepak Chopra (Future of God), Francis Collins (Language of God),  Reza Aslan (No God but God; God: Human History), The Evolution of God (Robert Wright), One True God (Rodney Strak), maupun God's Philiosophers (James Hannam). Daftar ini masih bisa diperbanyak.

Lalu, apa esensi dan hakikatnya mempersoalkan ada tidak adanya Tuhan baik bagi kalangan ahli maupun awam?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Bill Gates Versus Elon Musk, Dua Jalan Peradaban

Apakah dengan membuktikan tidak adanya Tuhan — sejauh ini belum ada bukti kecuali sebatas hipotesis — manusia telah memenangkan kejayaan hidup di dunia berabad-abad sampai mati.

Atau, apakah dengan memercayai-Nya tanpa satu buktipun pun, kemenangan sampai mati, sudah bisa menjawab keberadaan Tuhan?

Life After Life (1975), Raymond A. Moody (80); Proof of Heaven: A Neurosurgeon's Journey into the Afterlife (2012), Eben Alexander (71), Being Mortal: Medicine and What Matters in the End (2014), Atul Gawande (59), On Death and Dying (1969), Elisabeth Kübler-Ross (1926-2004), beberapa buku sebagai bukti hipotesis sainstifik.

Lain cerita. Dua orang sainstis ateistik dan teistik, Jon Avery dan Hasan Askari dari fakultas teologi universitas Temple, pernah berdebat tuntas tentang bukti ada tidak Tuhan dalam Towards a Spiritual Humanism (1991).

Argumen akhir debat itu datang dari Askari sang teistik:

“Jon, tidak mudah bagiku untuk membuktikan agar kau percaya ada Tuhan sebagaimana kau juga tak percaya ada Tuhan."

Sampai di sini, dialog humanisme itu bukan perkara kemampuan membuktikan ada tidaknya Tuhan.

Akhirnya, dengan dialog itu muncul konklusi mediatif: bukan soal bisa membuktikan ada tidaknya Tuhan atau ada Tuhan dan bukan Tuhan.

Tapi, potensi spiritualitas manusia lah yang bisa menjawab dan membuktikan itu.

Karna spiritualitas itu, potensi kredo universal yang dimiliki manusia manapun — percaya Tuhan atau tanpa Tuhan — bukan masalah. Inipun, cuma hipotesis.***

Halaman:

Berita Terkait