
Pihak sainstis mempromosikan ada Tuhan (teisme), bisa dirujuk kepada Karen Armstrong (History of God), Dhepak Chopra (Future of God), Francis Collins (Language of God), Reza Aslan (No God but God; God: Human History), The Evolution of God (Robert Wright), One True God (Rodney Strak), maupun God's Philiosophers (James Hannam). Daftar ini masih bisa diperbanyak.
Lalu, apa esensi dan hakikatnya mempersoalkan ada tidak adanya Tuhan baik bagi kalangan ahli maupun awam?
Apakah dengan membuktikan tidak adanya Tuhan — sejauh ini belum ada bukti kecuali sebatas hipotesis — manusia telah memenangkan kejayaan hidup di dunia berabad-abad sampai mati.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengenali Tipe Personality, Perjalanan Pulang Menuju Diri
Atau, apakah dengan memercayai-Nya tanpa satu buktipun pun, kemenangan sampai mati, sudah bisa menjawab keberadaan Tuhan?
Life After Life (1975), Raymond A. Moody (80); Proof of Heaven: A Neurosurgeon's Journey into the Afterlife (2012), Eben Alexander (71), Being Mortal: Medicine and What Matters in the End (2014), Atul Gawande (59), On Death and Dying (1969), Elisabeth Kübler-Ross (1926-2004), beberapa buku sebagai bukti hipotesis sainstifik.
Lain cerita. Dua orang sainstis ateistik dan teistik, Jon Avery dan Hasan Askari dari fakultas teologi universitas Temple, pernah berdebat tuntas tentang bukti ada tidak Tuhan dalam Towards a Spiritual Humanism (1991).
Baca Juga: Catatan Denny JA: Paus Baru di Era Artificial Intelligence
Argumen akhir debat itu datang dari Askari sang teistik:
“Jon, tidak mudah bagiku untuk membuktikan agar kau percaya ada Tuhan sebagaimana kau juga tak percaya ada Tuhan."
Sampai di sini, dialog humanisme itu bukan perkara kemampuan membuktikan ada tidaknya Tuhan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Memahami Kecenderungan Politik dari Dalam Diri
Akhirnya, dengan dialog itu muncul konklusi mediatif: bukan soal bisa membuktikan ada tidaknya Tuhan atau ada Tuhan dan bukan Tuhan.