Catatan Denny JA: Memahami Kecenderungan Politik dari Dalam Diri
- Penulis : Arseto
- Minggu, 11 Mei 2025 06:57 WIB

Menyambut Aplikasi Knowing Myself+Healing LSI Denny JA (7)
ORBITINDONESIA.COM - Pada musim gugur 1932, di sebuah kota kecil Amherst, Massachusetts, seorang mahasiswa muda bernama Eleanor duduk merenung di sudut perpustakaan tua.
Di tangannya, sebuah pamflet: “Pemilu Presiden: Pilih dengan Pikiran, Bukan Hanya dengan Hati.”
Baca Juga: Catatan Denny JA: Olahraga Padel Segera Naik Daun di Indonesia
Tangannya sedikit gemetar seperti daun muda diterpa angin dingin. Hatinya terbelah. Di satu sisi, ia mencintai gagasan kebebasan individu sejak kecil. Tapi ia juga gusar pada ketimpangan sosial yang terus membayang di balik kebebasan itu.
Malam itu, dalam kamar sempit berbau kayu pinus, Eleanor menulis:
“Bagaimana aku tahu ke mana hatiku condong? Bagaimana aku menimbang, menilai, bukan sekadar mengikuti arus zaman?”
Baca Juga: Catatan Denny JA: Tumbuh Bersama Dongeng Walt Disney
Catatan Eleanor kemudian disimpan sebagai arsip Universitas Amherst. Tapi keresahannya, sesungguhnya, adalah gema dari pertanyaan yang terus hidup di zaman mana pun: siapa aku dalam dunia politik yang gaduh ini?
Dari kegundahan pribadi seperti itulah lahir kebutuhan akan cermin batin bernama tipologi politik. Ini sebuah peta nilai yang menuntun kita mengenali diri, sebelum bersuara di forum dunia luar diri.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Jangan Sampai Indonesia Menjadi Negara Tuan Tanah
Berulang kali saya memikirkan kisah Eleanor, ketika bersama tim LSI Denny JA kami menyusun aplikasi KnowingMySelf+Healing, termasuk tes kecenderungan politik.
Tes ini hadir bersama 14 instrumen psikologis lainnya, dilengkapi kecerdasan buatan, dan tersedia dalam 28 bahasa. Siapa pun kini bisa mengenal diri, kapan saja, di mana saja, bahkan dari genggaman tangan melalui handphone.
Tapi tipologi politik bukanlah barang baru. Ia lahir dari tragedi sejarah dan pencarian mendalam.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengenali Tipe Personality, Perjalanan Pulang Menuju Diri
Tahun 1950, Theodor Adorno dan tim ilmuwan sosial Amerika menerbitkan karya klasik: The Authoritarian Personality. Mereka menyelidiki bagaimana manusia biasa bisa mendukung kekejaman atas nama ideologi. (1)
Mereka menyimpulkan bahwa orientasi politik bukan semata rasional. Ia dibentuk oleh rasa takut, oleh luka masa kecil, oleh persepsi terhadap dunia: apakah aman, atau mengancam.
Dari sana, psikologi mulai bersilangan dengan ilmu politik. Dan tipologi pun mulai dirangkai.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Paus Baru di Era Artificial Intelligence
-000-
Menyusun tipologi politik seperti membaca gugusan bintang. Ia mencari pola dari jagat batin manusia.
Pionir seperti Herbert McClosky dan Philip Converse pada era 1950–1960-an merancang pertanyaan bukan sekadar “partai apa yang Anda pilih?”, tetapi: “Apa dunia ideal Anda?”
Mereka menyusun pertanyaan seperti:
• Haruskah negara mengatur ekonomi?
• Sejauh mana kebebasan individu dijaga, bahkan saat bertabrakan dengan kepentingan umum?
• Apakah perubahan sosial lebih menjanjikan atau lebih mengancam?
• Bagaimana kita memandang kaum minoritas atau para imigran?
Dengan skala respons seperti “sangat setuju” hingga “sangat tidak setuju,” pola batin itu terbaca.
Lalu lahirlah empat arketipe utama:
• Progresif: Menyongsong perubahan sosial demi kesetaraan.
• Konservatif: Menjaga nilai-nilai tradisi, skeptis terhadap perubahan besar.
• Populis: Mewakili suara rakyat melawan elite yang dianggap jauh dari realitas.
• Libertarian: Memuliakan kebebasan pribadi, meminimalkan intervensi negara.
Tipologi ini terus diperbarui oleh berbagai lembaga, dari Political Compass hingga Pew Research Center. Mereka menggambarkan peta kompleks dunia politik yang tak bisa dibagi sekadar kiri dan kanan.
-000-
Kini, di era mesin, peta itu menjadi semakin canggih.
Neurosains politik mengungkap: bagian otak yang disebut amigdala—pusat rasa takut—cenderung lebih aktif pada individu konservatif. Sedangkan progresif memiliki aktivitas lebih di korteks anterior, pusat empati dan kompleksitas sosial.
Big data dan AI kini memindai jejak digital kita: dari likes media sosial hingga belanja online.Semua dapat memprediksi kecenderungan politik secara akurat.
Sementara ilmu kognitif sosial mengingatkan bahwa bias—seperti bias konfirmasi dan kesetiaan kelompok—seringkali lebih kuat daripada logika.
Tipologi politik hari ini bukan sekadar tentang partai mana yang kita pilih. Ia tentang bagaimana kita memandang dunia. Apakah kita melihat dunia sebagai tempat kompetisi atau kolaborasi? Sebagai medan perang atau taman yang bisa dirawat bersama?
Namun, tipologi politik bukanlah kristal yang sempurna. Ia memiliki retakan halus: kecenderungan mengkotakkan manusia ke dalam kategori yang kaku.
Padahal, jiwa manusia adalah sungai yang mengalir—dinamis, berubah oleh waktu dan pengalaman.
Riset mutakhir menunjukkan individu mengalami pergeseran kecenderungan politik setelah peristiwa traumatis atau transformasi spiritual.
Selain itu, tipologi kerap mengabaikan budaya lokal. Apa yang disebut "konservatif" di Jakarta mungkin adalah "progresif" di Jeddah. Bahkan AI sekalipun, dengan algoritmanya, bisa terjebak dalam bias data sejarah yang timpang.
Tapi justru di situlah keindahannya. Setiap kelemahan adalah undangan untuk lebih rendah hati. Dengan mengakui keterbatasan ini, kita bisa merancang tipologi yang lebih cair—memadukan psikometri berbasis budaya, pemindaian neurosains real-time, dan etika AI yang inklusif.
Seperti kata filsuf Tiongkok kuno, "Peta bukanlah wilayah," tetapi imajinasi yang terus direvisi akan semakin mendekati kebenaran.
-000-
Di Des Moines, Iowa, 2019. Thomas—seorang veteran Perang Teluk—dan putranya, Jack—seorang aktivis lingkungan hidup—nyaris tak saling bicara lagi.
Setiap makan malam berubah menjadi bentrokan.
Thomas mencemaskan stabilitas. Jack mengutuk ketidakadilan sistemik.
Suatu malam, Jack mengusulkan satu hal sederhana:
“Ayah, mari kita isi kuis tipologi politik ini bersama. Tanpa debat. Hanya jawab.”
Mereka duduk, mengisi pertanyaan tentang keadilan, kebebasan, keamanan, dan kesetaraan.
Mereka terkejut. Di balik perbedaan pendapat, nilai dasar mereka sama: kejujuran, pengabdian, cinta pada keluarga. Tapi memang mereka berbeda pada apa yang diprioritaskan.
Dan perbedaan itu lahir dari dalam, dari pengalaman, dari bacaan, yang tak bisa dipaksakan sama.
Thomas menangis diam-diam di sudut dapur.
Jack, untuk pertama kalinya sejak SMA, memeluk ayahnya erat.
Tipologi politik bukan hanya label. Ia bisa menjadi jembatan. Ia memulihkan.
-000-
Hari ini, ketika dunia terpecah—antara globalis dan nasionalis, liberal dan konservatif—mengenali kecenderungan politik diri sendiri adalah bentuk keheningan yang bermakna.
Ia bukan tentang menghindari konflik. Ia tentang memulai percakapan dari tempat yang lebih dalam, lebih jujur, dan lebih manusiawi.
Ia mengajarkan:
• Kerendahan hati: bahwa tak satu pun pihak memegang seluruh kebenaran.
• Empati: bahwa lawan debat pun punya luka dan cinta yang sama.
• Tanggung jawab: bahwa memilih sikap bukan sekadar membenci, tapi membangun.
Di era pasca-kebenaran, ketika suara lebih keras daripada makna, mengenal diri adalah bentuk keberanian.
-000-
Kembali ke Eleanor, yang pada malam musim gugur itu menulis:
“Jika aku ingin dunia ini berubah, aku harus terlebih dahulu mengerti dari mana aku memulai.”
Delapan puluh tahun telah berlalu. Dari pamflet menjadi algoritma.
Tapi pertanyaan itu tetap sama.
Dan jawabannya pun tetap sederhana:
Menyalakan lentera kecil dalam jiwa. Mengenali nilai. Mengakui bias. Mendekap perbedaan.
Bukan untuk menang dalam debat, tapi untuk mencintai dunia dengan cara yang lebih bijak.
Karena hanya dengan begitu, kita semua—progresif, konservatif, populis, atau libertarian—kembali menjadi manusia.***
Jakarta, 11 Mei 2025
CATATAN
Lihat Theodor W. Adorno dkk., The Authoritarian Personality (New York: Harper & Row, 1950), karya klasik yang mengawali studi psikologis tentang orientasi politik dan kecenderungan otoriter.
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World