
ORBITINDONESIA.COM - Di zaman medsos ini, tidak ada sebuah kata yang lebih sering muncul pada setiap peristiwa kekacauan. Dialah hoaks. Karena selalu ada di sana, dia pula yang paling sering dijadikan kambing hitam segala kekacauan.
Sangat banyak yang sudah menjadi korban hoaks, karenanya semua orang berlomba mencacinya. Tetapi istimewanya, hampir tidak ada orang yg tidak pernah ikut menyebarkannya.
Dari mana munculnya hoaks? Bagaimana mulai berkembang dan menyebarnya? Lantas bagaimana mencegah dan mengendalikannya?
Baca Juga: Inilah 10 Alasan Terlengkap Kamu Harus Tonton Film Avatar The Way of Water, Biar Tidak FOMO
Dimulai dari sebuah informasi. setiap orang yang menerima informasi itu akan memberikan respons yang berbeda-beda. Respons yang muncul paling awal adalah respons kognitif, yaitu saat penerima informasi mulai berpikir untuk menilai informasi, seperti menganalisis, mengevaluasi, atau mengingatnya.
Sayangnya, respons kognitif itu tidak selalu menghasilkan penilaian yang objektif. Selalu ada bias yang muncul. Dan salah satunya disebut bias konfirmasi: kecenderungan untuk memilih informasi yang hanya mendukung keyakinan yang sudah dimiliki sebelumnya.
Sebagai contoh, jika sebelumnya kita punya keyakinan bahwa si A adalah penipu, maka informasi yang mendukung bahwa si A adalah penipu, akan langsung kita anggap benar.
Bias ini bisa muncul pada siapa saja, tidak peduli jenderal atau prajurit, profesor, doktor, atau murid SD. Dan dengan bias ini, dapat dikatakan, bahwa kita hanya memilih mendengar apa yang ingin kita dengar. Kita hanya memilih melihat apa yang ingin kita lihat.
Ada faktor lain penyebaran hoaks. Pernah dengar istilah FOMO? FOMO singkatan dari fear of missing out, yaitu suatu perasaan takut kehilangan kesempatan untuk memperoleh informasi terkini.
Kondisi ini membuat seseorang selalu meluangkan waktunya untuk memonitor media atau sumber berita dan mencari informasi yang dianggapnya penting. Orang yang terkena sindrom itu juga akan berusaha menjadi yang terdepan yang mengetahui suatu informasi. maka dia akan sesegera mungkin membagikan suatu informasi baru yang diterimanya. Dia akan bangga jika sering membagikan, share atau forward berita terkini.
Baca Juga: Berita Acil Bimbo Meninggal Itu Hoaks
Implikasinya, dia tidak lagi sempat memeriksa bahkan tidak perduli, apakah informasi yang dibagikannya itu benar atau salah, cocok atau tidak cocok.
Bisa saja kita menuduh dua faktor utama penyebab merebaknya hoaks adalah bias konfirmasi dan FOMO. Tetapi keduanya belum akan bekerja jika do-er alias eksekutor alias pelaksananya belum ada. Dialah amygdala.
Amygdala adalah bagian otak yang berperan dalam mengolah emosi, terutama emosi negatif seperti rasa takut, marah, dan stress. Amygdala terletak di dalam lobus temporal otak, dan berfungsi sebagai alarm untuk mendeteksi ancaman.
Baca Juga: Penelitian 3 Kampus Ternama Bantah Ada Zat Berbahaya di Air Minum, Isu BPA Pada Galon Hanya Hoaks
Amygdala sering disebut sebagai otak reptil, karena merupakan bagian otak yang paling primitif, yang terkait dengan fungsi dasarnya untuk bertahan hidup, yaitu: deteksi ancaman, refleks, dan insting.
Maka, jika amygdala teraktivasi karena mendeteksi adanya ancaman, muncullah respons stress otomatis. yaitu reaksi emosional yang kuat, yang kemudian akan memerintahkan respons sikap atau perilaku secara fisikal. Salah satu contohnya yaitu respons fight-or-flight (melawan atau melarikan diri).
Akhirnya kita bisa merangkai bagaimana penyebaran hoaks itu terjadi. Ketika sebuah informasi datang, bias informasi akan memilihkan bagian informasi yang sesuai keyakinan yang tersimpan pada memori. Pada orang yang terkena sindrom FOMO, tanpa dipikir lagi, karena amygdala-nya yang merespons, segeralah disebarkanlah informasi tadi.
Baca Juga: Ini Ancaman Alquran untuk Para Penyebar Fitnah dan Hoaks
Maka kembali ke contoh di depan, jika seseorang berkeyakinan bahwa si A adalah penipu, maka dia hanya memilih informasi yang mendukung bahwa si A adalah penipu, dan langsung menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Pada orang yang mengidap FOMO, informasi itu harus segera disebarkan. dan pada orang yang hanya mengandalkan amygdala, sreett... jempolnya langsung menyebarkannya di jagad medsos... booomm!
Maka kita bisa paham, bahwa siapa saja, tidak peduli jenderal atau prajurit, tidak peduli profesor, doktor atau murid SD, mudah berpotensi menjadi penyebar hoaks. No viral, no play. Nggak ada loe nggak rame.
Oleh Sam mBin, Depok. ***