Kincir Waktu Sir Azyumardi Azra, Sepercik Kenangan Pribadi
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Minggu, 18 September 2022 17:12 WIB
Saya tahu Prof. Edi pernah tinggal di NYC saat menjadi mahasiswa pascasarjana di Universitas Columbia. Tapi saya ragu untuk meminta beliau menulis testimoni lagi. Bukankah baru setengah tahun lalu beliau melakukannya?
Baca Juga: Bacuya, Maskot Piala Dunia U20 2023
Tetapi saya kontak juga beliau. Sepenuh hormat, separuh nekat. Jawabannya datang cepat, “Kirim saja. Nanti saya baca.” Tak lama kemudian datang pertanyaannya, “Uda Akmal, apa maksudnya Kincir Waktu karena ini bukan frasa yang lazim dipakai.”
Saya jawab, “Memang tidak lazim, Prof. Mungkin saya orang pertama yang menggunakan frasa itu. Jika pada kincir air dan kincir angin dimaksudkan air dan angin sebagai energi penggerak perubahan, maka dengan kincir waktu saya asumsikan waktu yang menjadi energi penggerak. Bagaimana sebuah kontroversi dan isu traumatik yang membuat bangsa terpuruk di masa lalu bisa diubah menjadi sikap positif dan pendorong kemajuan di masa depan.”
Beberapa hari kemudian datang testimoni lengkapnya berikut ini:
“Membaca Kincir Waktu, pembaca senior dapat teringat pada, atau pembaca lebih yunior terdorong melacak, turbulensi politik Indonesia sejak 1998. Pergolakan berlanjut ke New York, di mana Wikan Larasati, aktor utama novel, mengalami pengembaraan jasmani dan rohani penuh gejolak. Kincir Waktu memperlihatkan kepiawaian Akmal Nasery Basral melintasi berbagai peristiwa historis dan topografi sosial-budaya New York untuk mewujudkannya dalam lukisan imajinatif yang kaya dan inspiratif. Sungguh world class novel.” - Prof. Azyumardi Azra, CBE, New Yorker 1986-1993.
Baca Juga: Ketua Dewan Pers Prof Dr Azyumardi Azra Meninggal Dunia, Seperti Ini Sejarah Lembaganya
Lagi, testimoni yang diberikan Prof. Edi menunjukkan beliau membaca sampai ke titik koma naskah yang saya tulis. Bukan jenis testimoni yang diberikan hanya sebagai basa-basi literasi.
Jika pembaca menyangka Prof. Edi merespon kedua novel saya tersebab saya menyediakan honor baginya, itu keliru. Sebab kalau pun harus dikonversi ke dalam rupiah, saya tak tahu berapa nilai ekonomis testimoni seorang cendekia sehebat Prof. Edi.
Sudah pasti saya tak mampu membayar beliau jika kualitas profesi menjadi ukuran. Jadi dari awal saya sampaikan hal ini kepada beliau apa adanya. Alhamdulillah, bagi beliau itu tak masalah. Bukan soal materi.