DECEMBER 9, 2022
Kolom

Tarif Trump dan Peluang Baru Pariwisata di Tengah Krisis

image
Foto arsip - Pengunjung melihat instalasi pariwisata di area Paviliun Indonesia saat Dubai Expo 2020, Uni Emirat Arab, Jumat, 11 Maret 2022. Jelang penutupan Dubai Expo 2020, Paviliun Indonesia menjadi salah satu primadona pengunjung dan hingga Kamis, 10 Maret 2022 pengunjung telah mencapai lebih dari 1,5 juta orang. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww.

Tentu saja, tantangan tetap ada. Kenaikan tarif dan pelemahan Rupiah bisa berdampak negatif terhadap sektor hospitality yang masih bergantung pada impor bahan bangunan, furnitur, atau peralatan hotel. Investor pun bisa menjadi lebih konservatif, menahan ekspansi mereka karena fluktuasi ekonomi.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa krisis adalah lahan subur bagi inovasi. Dengan kebijakan fiskal yang proaktif dan insentif bagi pengembangan destinasi, pemerintah dapat menjaga kepercayaan investor sambil memperkuat fondasi dalam negeri.

Efek lain dari kebijakan tarif dan melemahnya Rupiah adalah tekanan terhadap wisatawan Indonesia yang ingin bepergian ke luar negeri. Biaya perjalanan menjadi lebih mahal, dan ini bisa menjadi momen yang tepat untuk menggeser arus wisata domestik.

Baca Juga: Wall Street Muak dengan Tarif Trump, Saham Berada di Jalur Kuartal Terburuknya dalam Beberapa Tahun

Data dari Mastercard Economics Institute (2023) menunjukkan bahwa pada tahun 2022, wisatawan Indonesia membelanjakan rata-rata 1.200 dolar AS per perjalanan luar negeri. Dengan depresiasi Rupiah yang signifikan, angka ini berpotensi naik drastis, memaksa banyak orang untuk mencari alternatif destinasi di dalam negeri.

Dan memang jika arus wisatawan domestik dialihkan ke destinasi lokal, dampaknya akan sangat besar bagi perekonomian nasional. Peluang ini harus dimanfaatkan dengan promosi yang kuat, penguatan transportasi domestik, dan penyediaan pengalaman wisata yang tidak kalah dari destinasi internasional.

Pada akhirnya, kebijakan tarif Trump dapat menjadi pemantik transformasi sektor pariwisata Indonesia. Bukan sekadar bertahan, tetapi melompat lebih jauh dengan melihat peluang dalam krisis.

Baca Juga: Mengkaji Opsi Tidak Dalam Hantaman "Nuklir" Tarif Trump

Dalam visi ekonomi Presiden Prabowo yang menitikberatkan pada kemandirian nasional, pariwisata bukan lagi sektor pelengkap, tetapi jantung baru ekonomi Indonesia yang resilien, berdaya saing, dan inklusif.

Ke depan diperlukan langkah konkret, kepemimpinan yang adaptif, dan dukungan lintas sektor agar visi ini dapat terwujud secara nyata.

Karena faktanya ketika arus perdagangan dunia semakin dibatasi, pariwisata menjadi jalan terbuka yang mempertemukan dunia dengan Indonesia dalam hubungan yang saling menguntungkan, tanpa bea masuk, tanpa hambatan politik, hanya keterbukaan dan keindahan yang mengesankan hati.

Baca Juga: KSP: Indonesia Sudah Antisipasi Kebijakan Tarif Resiprokal Trump Sejak Dini

(Oleh Hanni Sofia)***

Halaman:

Berita Terkait