Bank Dunia Ingatkan, "Terlalu Banyak Kematian" Jika Dana untuk Atasi Perubahan Iklim Tidak Dipenuhi
- Penulis : M. Ulil Albab
- Jumat, 07 Februari 2025 00:32 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Pejabat senior Bank Dunia pada Kamis, 6 Februari 2025 memperingatkan, akan ada "terlalu banyak" kematian jika pendanaan yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan iklim tidak terpenuhi.
"Akan terlalu banyak yang meninggal jika kita menunggu negara-negara di Global North menyediakan seluruh dana yang secara moral seharusnya mereka berikan," ujar Valerie Hickey, Direktur Global Perubahan Iklim Bank Dunia.
Berbicara dalam konferensi perubahan iklim internasional Breathe Pakistan di ibu kota Islamabad, pejabat Bank Dunia Hickey menyatakan, "Meningkatkan pendanaan dari 100 miliar dolar AS (sekitar Rp1,6 kuadriliun) menjadi 300 miliar dolar AS (sekitar Rp4,87 kuadriliun) terdengar seperti jumlah yang besar."
Baca Juga: Tengok Yuk! Apakah Indonesia Masuk Dalam Daftar 10 Negara Termiskin Versi Bank Dunia?
"Namun, sebenarnya tidak. Sebagian besar dana tersebut berbentuk pinjaman, bukan hibah. Sebagian besar dana itu juga sudah tersedia, bukan tambahan baru." ujar Hickey lagi.
Dalam KTT Iklim (COP29) di Azerbaijan, November lalu, para pihak mengusulkan target pendanaan iklim sebesar 250 miliar dolar AS (sekitar Rp4 kuadriliun) hingga tahun 2035.
Mohamed Yahya, Koordinator Residen dan Kemanusiaan PBB, dalam pernyataannya menegaskan bahwa perubahan iklim bukan lagi "ancaman di masa depan."
Baca Juga: Mengkritik Protes Luhut terhadap Penilaian Bank Dunia Terkait Memburuknya Logistik Indonesia
"Perubahan iklim bukan lagi ancaman yang jauh. (Ancaman) itu sedang terjadi sekarang. Seperti yang baru-baru ini dikatakan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, 'Kita berada di jalan tol menuju neraka iklim dengan kaki masih menginjak gas,'" ujarnya.
Yahya menyoroti bahwa emisi global terus meningkat, sementara bencana cuaca ekstrem seperti kekeringan, kebakaran hutan, dan banjir semakin sering, lebih intens, dan lebih menghancurkan.
Mengingat kembali banjir monsun tahun 2022 yang menenggelamkan sepertiga wilayah Pakistan, Yahya menyatakan bahwa bencana sebesar itu seharusnya menjadi peringatan bagi dunia. Namun, emisi justru terus meningkat.
Baca Juga: Maros Sefcovic: Uni Eropa Sesalkan Keputusan AS Keluar dari Kesepakatan Iklim Paris 2015
"Kita harus menuntut pendanaan iklim yang dapat diprediksi, mudah diakses, memadai, dan adil. Era impunitas korporasi dan negara juga harus berakhir. Sekretaris Jenderal PBB telah menyerukan agar para pencemar melakukan lebih banyak tindakan untuk menjadi bagian dari solusi," tegasnya.
Hakim Mansoor Ali Shah, hakim senior Mahkamah Agung Pakistan, menekankan bahwa negara-negara di Global South, termasuk Pakistan, memiliki kontribusi paling kecil terhadap emisi global tetapi justru menanggung dampak terberat.
"Pakistan berada di garis depan bencana iklim dan masuk dalam daftar lima besar negara paling rentan terhadap cuaca ekstrem," ujarnya.
Baca Juga: Pemerintah Jakarta Gandeng Dewan Masjid Masukkan Materi Perubahan Iklim di Dalam Khotbah
"Saya tidak perlu menyebutkan banyak contoh, tetapi banjir dan bencana ... pada tahun 2022, banjir menenggelamkan sepertiga wilayah Pakistan, menyebabkan 33 juta orang mengungsi, serta kerugian sebesar 30 miliar dolar AS. Hal ini menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan akan adaptasi dan pendanaan iklim," lanjutnya.
Menteri Perencanaan Pakistan, Ahsan Iqbal, menegaskan bahwa perubahan iklim bukan lagi tantangan yang jauh, melainkan "realitas yang kita hadapi setiap hari."
Iqbal menekankan bahwa meskipun Pakistan hanya menyumbang kurang dari 1 persen emisi gas rumah kaca global, negara tersebut tetap menjadi salah satu yang paling terdampak.
Baca Juga: Tak Acuh AS Mundur Diri dari Perjanjian Iklim Paris 2016, China Teruskan Transisi Hijau
"Kami telah menghadapi banjir dahsyat, pencairan gletser yang cepat, gelombang panas yang menyengat, serta kekeringan yang parah, semuanya semakin sering terjadi dan semakin parah," katanya.
Konferensi dua hari ini bertujuan untuk membangun ketahanan iklim Pakistan pada tahun 2047 serta mendorong kerja sama regional di seluruh Asia Selatan.***