DECEMBER 9, 2022
Kolom

Denny JA dan Nabi Masa Depan

image
Syaefudin Simon (Foto: Istimewa)

Dalam istilah Denny JA, kebenaran ayat-ayat suci harus berbasis sains. Jika tidak relevan dengan sains, maka yang harus dilakukan adalah menafsir maksud intrinsiknya -- seperti menafsir karya sastra yang berbentuk syair dan puisi. 

Menurut Denny, kisah Nabi Musa dan Banjir Nuh yang bertebaran dalam kitab-kirab suci agama Semit (Islam, Kristen, dan Yahudi), misalnya, jelas tidak ilmiah karena tidak ada realitas historis dan antropologisnya. Karena itu, butuh pendekatan baru untuk memahami kisah-kisah kitab suci tersebut. Yaitu pendekatan sastra. Dengan demikian, kisah-kisah Nuh dan Musa tetap relevan untuk pelajaran manusia. 

Lebih jauh Denny dalam bukunya "Agama di Era Google" mencoba memahami agama dengan perspektif yang saintifik. Yaitu: Neuro Science, Positive Psychology, Arkeologi, dan data statistik. Dari pendekatan tersebut, Denny berkesimpulan, kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh dan eksodus Nabi Musa dan pengikutnya dengan menyeberangi Laut Merah saat dikejar Fir'aun (Ramses II) secara ilmiah (historis dan antropologis) tidak terbukti. 

Baca Juga: Syaefudin Simon: Dari Kisah Burung Sampai Frugal Life

Karena itu, dua kisah yang sangat populer di kitab-kirab suci agama Semit di atas harus ditafsir ulang dengan perspektif baru. Seperti menafsirkan syair dan puisi, atau cerita legenda dan dongeng. Dengan demikian ayat-ayat suci tadi tetap relevan dengan kehidupan manusia. 

Saat ini, kebutuhan manusia untuk mengarungi kehidupan sangat berkembang. Kebutuhan terhadap kesetaraan gender, hak asasi manusia, pengakuan realitas LGBT, dan perdamaian dunia kini menjadi tuntutan global. Semua itu, meniscayakan lahirnya nabi-nabi baru di seluruh dunia. 

Dalam konteks inilah, nabi-nabi baru atau manusia yang tercerahkan banyak bermunculan di bumi. Dalai Lama, misalnya, menyatakan bahwa setiap kebajikan adalah ayat kitab suci. Sastrawan Rusia Tolstoy menyatakan agama adalah karakter dan perilaku setiap individu. Bukan ajaran dan simbol-simbol yang memantik perpecahan. 

Baca Juga: Syaefudin Simon: Salim Said dan Dua Raja Jawa

Kehidupan masa depan butuh agama yang mendamaikan dan mempersatukan umat manusia. Perbedaan ajaran dan keyakinan  berbagai agama hendaknya menjadi khasanah budaya yang memperkaya warisan dunia. Dalam istilah Denny, agama dan kepercayaan yang bertebaran di muka bumi yang kini mencapai 4000-an harus dipandang sebagai warisan kultural. 

Pendekatan Denny dalam memandang agama secara saintifik dan kultural -- pinjam istilah Abdul Rachman, pimpinan Komunitas Eden -- meniscayakan bersatunya semua agama untuk menyongsong masa depan dunia. Keberadaan Tuhan, malaikat, dan setan, misalnya, kini harus ditafsirkan ulang secara saintifik. Sehingga relevan dengan perkembangan sains. 

Kenapa? Karena hanya sains yang mampu menunjukkan kebenarannya  dengan bukti dan verifikasi. Einstein, misalnya, lebih percaya kepada Tuhan dalam tafsir Spinoza ketimbang Tuhan dalam tafsir agama-agama konvensional. Ini karena Tuhan dalam tafsir Spinoza lebih saintifik dan logik ketimbang Tuhan dalam tafsir agama-agama Semit yang hidup dalam lingkungan Einstein (Yahudi). Dalam konteks inilah, pemikiran Denny yang melihat agama dari perspektif sains dan kultural menemukan  relevansinya di Era Google (EG) dan Artificial Intelligence (AI) saat ini. 

Baca Juga: Syaefudin Simon: Lukisan Denny JA dan Tragedi Terbesar Dunia Abad 21 di Mahakam 24

Google dan AI di dunia digital kini tengah menyongsong penjelasan sains terhadap fenomena yang selama ini dianggap gaib. Demikian vitalnya tafsir saintifik dalam memahami agama, Abdul Rachman  mengapresiasi Denny sebagai sosok yang mencerahkan untuk melihat masa depan agama dan jagad raya.  

Halaman:

Berita Terkait