Oleh Syaefudin Simon*
ORBITINDONESIA.COM - Berapa jumlah nabi di muka bumi? Kata Nabi Muhammad, 124 ribu. Jumlah tersebut, baik ditafsirkan eksak maupun spekulatif, mengindikasikan bahwa jumlah nabi unlimited. Tergantung kebutuhan zaman.
Selama ini, mayoritas umat menganggap nabi berfungsi mewakili Maha Semesta (Tuhan) dalam memperkenalkan Diri dengan ajaran spiritual dan hukum-hukumnya yang terkait dengan ibadah dan relasi antarmanusia. Padahal Yang Maha Semesta meliputi multidimensi yang unlimited, di antaranya sains dan peradaban manusia.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Dari Kisah Burung Sampai Frugal Life
Perkembangan sains dan kebudayaan manusia, jelas melampaui perkembangan agama. Peradaban manusia yang menakjubkan di era digital merupakan buah perkembangan sains dan kebudayaan. Bukan agama. Karena itu, logikanya, nabi pembawa wahyu sains dan kebudayaan jauh lebih banyak dari nabi pembawa wahyu agama.
Just noted. Kata nabi berasal dari rumpun kata nabaa, yang artinya, pembawa berita. Dan berita dari Langit disebut pula wahyu. Dengan demikian, secara etimologis, apa yang disebut nabi adalah manusia pembawa berita langit atau wahyu. Itulah sebabnya, para saintis atau inventor iptek dan kebudayaan pun layak disebut nabi.
Jadi nabi tak hanya Sidharta, Ibrahim, Daud, Jusuf, Isa, Muhammad, Mirza Ghulam Ahmad, Bahaullah, Dalai Lama, dan lain-lain. Tapi juga Newton, Bohr, Edison, Einstein, Tesla, dan masih banyak lagi.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Salim Said dan Dua Raja Jawa
Dewasa ini, di tengah krisis perdamaian dan ancaman perang nuklir global, manusia-manusia yang pikirannya mencerahkan untuk mempersatukan umat manusia demi terciptanya perdamaian terus bermunculan. Tafsir ayat-ayat suci dalam Quran, Injil, Taurat, Mazmur (Zabur), Veda, dan Tripitaka -- bahkan ayat-ayat kitab animisme -- terus berkembang, mengikuti perspektif baru untuk kelestarian lingkungan dan perdamaian.
James Lovelock, ilmuwan lingkungan asal Inggris penulis buku "Gaia, A New Look at Life on Earth" (1979) menjelaskan agama animisme jauh lebih baik ketimbang monoteisme. Dalam animisme diyakini setiap entitas -- benda, hidup atau mati -- semuanya punya jiwa. Karena itu, manusia dilarang menjadikan entitas selain manusia sebagai objek. Bumi rusak dan lingkungan hancur, tulis Lovelock, karena pandangan agama monoteisme yang menganggap bahwa manusia adalah entitas hidup paling mulia, sehingga sah menggusur gunung dan hutan lindung. Akibatnya, kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana.
Kini apa yang disebut kitab suci pun, perlu tafsir ulang. Sakralitas ayat-ayat suci dari agama-agama kuno mainstream yang dimutlakkan kebenarannya kini harus dikaji kembali untuk menemukan perspektif baru.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Lukisan Denny JA dan Tragedi Terbesar Dunia Abad 21 di Mahakam 24
Pinjam istilah Kumaila Hakimah, santriwati asal Sukabumi yang hapal Quran sejak usia 10 tahun di podcast Forbidden Question, banyak ayat-ayat suci -- termasuk dalam Quran -- yang sekarang tidak relevan dengan zamannya. Karena itu, menafsirkan ayat-ayat kitab suci harus memakai perspektif yang relevan dengan zaman. Tanpa itu, banyak (penafsiran) ayat suci yang terasa kadaluarsa. Bahkan bertentangan dengan perkembangan zaman.