Pelukis yang karyanya dibredel, yang sudah berambut putih itu akhirnya gamblang menuding tokoh yang dilukis itu yang bertanggung jawab atas masalah bangsa kita: Jokowi.
Dengan begitu, dia bukan seniman, dia agitator. Dia sedang meluapkan kebencian. Dia berpolitik dengan lukisannya.
Sebagai agitator, dia berhasil mengirim pesan provokatif ke publik dan menyebar hasutan. Tapi sebagai kreator, dia gagal menggambar karya seni.
Baca Juga: Ketika Artificial Intelligence Membantu Pelukis
Melalui ”Berburu Celeng” Djoko Pekik membuat karya simbolik. Dan dia masuk penjara bukan lantaran karyanya. Dia dibui karena bergabung dengan kelompok yang kalah dalam politik: Lekra dan Sanggar Bumi Tarung. Karyanya paten, karena itu, ada kolektor yang membeli karyanya hingga Rp.1 miliar - setelah rezim membebaskan ekspresi kesenimannya.
Sebagaimana Amrus Natalsya, Basuki Resobowo, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, Itji Tarmizi, Permadi Lyosta, Raka Suasta, S. Sudjojono dan seniman Lekra lainnya, karya Djoko Pekik terus dikenang dan diperbincangkan hingga kini.
Bung Karno yang bergelar insinyur (dari ITB) pernah berkata, “lebih mudah melahirkan 100 insinyur ketimbang melahirkan seorang seniman besar“. Karena itu, rentetan pembunuhan kepada seniman kiri era pasca G30S diminta dihentikan. Untunglah rezim mendengar, dan karena itu, banyak seniman era Lekra kemudian tetap hidup dan terus berkarya. Affandi dan Djoko Pekik di antaranya. Juga Pramoedya Ananta Toer di dunia sastra.
Baca Juga: Denny JA Melukis Ulang 20 Pelukis Dunia
Tapi sekali lagi, banyak seniman jadi jadian. Mengaku membuat karya seni simbolis, tapi memperlihatkan karya agitatif dan provokatif. Vulgar. Tak senonoh. Padahal dia mengenyam pendidikan akademis.
Kalah jauh dengan almarhum Affandi yang tak pernah mengenyam pendidikan seni.
*Supriyanto Martosuwito adalah kolumnis dan pengamat seni budaya. ***