DECEMBER 9, 2022
Kolom

Kejujuran Seniman, Agamawan dan Politisi

image
Lukisan Berburu Celeng karya Djoko Pekik (Foto: Youtube)

Atau waspadai. Anda sedang dimanipulasi.

Agamawan hidup mewah menumpuk kekayaan dan menambah istri, naik panggung mengandalkan derma kaum miskin dan kaum berduit - dengan kata kata itu. Sebagian dari mereka menggeruduk umat agama lain yang sedang beribadah atas nama agama damai dan sejuk itu. Para koruptor kaya raya dan menyejahterakan keluarganya, juga dengan kata kata itu.

Politisi, agamawan dan seniman sejati, tidak menyatakan itu. Mereka beraksi nyata dan menunjukkan karyanya- karyanya. Mendapat respon publik. Memang keputusan politiknya berdampak. Dengan proses yang dia perlihatkan dan bisa kita ikuti - dengan perilakunya kemudian.

Baca Juga: Ketika Artificial Intelligence Membantu Pelukis

Seniman yang sejati tidak perlu menjelaskan karyanya. Karya mereka sendiri yang menjelaskannya. Karyanya yang bicara.

Pelukis almarhum Affandi, R Basuki Abdullah, S. Sudjojono, yang saya kenal langsung, dan banyak ngobrol dengan mereka - tidak menjelaskan mengapa dia melukis dengan cara begini dan begitu, mengapa melukis ini dan itu. Para pengamat dan kritikus seni lah yang membahasnya dan jurnalis menyebar luaskannya.

Seniman yang masih menjelas-jelaskan karya bukan seniman. Dia pedagang karya seni. Tukang. Dia seorang pengrajin.

Baca Juga: Denny JA Melukis Ulang 20 Pelukis Dunia

Saya kenal baik para maestro seni di bidangnya. Saya ngobrol dengan almarhum Affandi di Wisma Seni TIM, nyanggar di Teater Populer, dekat dengan Teguh Karya (alm) dan Slamet Rahardjo, mengikuti perjalanan WS Rendra di New York, ikut proses pergelaran “Panembahan Reso”, bersama Sutardji Calzoum Bachri ke acara musyawarah seni. Mereka tenar karena karya karyanya. Menjelaskan atau tidak menjelaskan, karyanya yang lebih dulu bicara.

Betul. Seniman bicara dengan simbol dan membikin publik bebas menafsir. WS Rendra menyebut Mastodon, burung Rajawali dan burung nuri, Paman Doblang, sajak seonggok jagung. Chairil Anwar teriak: Aku binatang jalang! Tanah air mata, tanah air kami - tulis Sutardji Calzoum Bachri. Pram menulis tetralogi Pulau Buru yang melegenda dan jadi bacaan wajib para cendekiawan.

Seniman yang membuat simbol tapi mudah terbaca, dia seniman gagal. Seperti pelukis yang mengaku baru “dibredel” oleh Galeri Nasional dan gagal pameran - baru baru ini. Dengan mudah pemilik galeri, kurator menafsir, bahwa seniman memamerkan karya yang bernuansa sentimen dan kebencian pada satu tokoh, dan setelah beredar publik segera tahu siapa yang dimaksud. Maka dia manipulatif.

Baca Juga: Yusuf Liu Baojun, Pelukis Kaligrafi China Muslim akan Meriahkan Pameran IMLF Kedua di Padang, Sumatra Barat

“Masyarakat harus memahami simbol,” kata sang seniman membela diri. Betul. Untuk itu, lihatlah lukisan “Berburu Celeng” karya Djoko Pekik yang laku Rp1 miliar. Bisakah publik menilai, mana figur dan maksud lukisan yang yang ditampilkan? Samar. Multitafsir. Adakah seseorang yang tersinggung dan tersakiti? Tidak ada.

Halaman:

Berita Terkait