Sebelum Terapkan Zero ODOL, Ketua MTI Minta Pemerintah Selesaikan Karut Marut Status dan Fungsi Jalan
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Selasa, 24 Desember 2024 07:35 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Agus Taufik Mulyono meminta pemerintah menyelesaikan masalah status dan fungsi jalan yang masih karut-marut sebelum menerapkan Zero Over Dimension Overload (Zero ODOL). Menurutnya, hal tersebut merupakan problem klasik yang masih belum diselesaikan hingga saat ini.
“Apabila hal itu tidak dibenahi, maka persoalan ODOL diperkirakan terus terjadi,” ujarnya baru-baru ini.
Dia mengatakan jalan itu merupakan jaringan atau bangunan luas yang memanjang dan bukan bangunan simpul. Tapi, yang terjadi sekarang ini adalah jalan itu melayani simpul. “Ini yang menyebabkan terjadinya masalah bagi truk-truk besar ketika melewati berbagai wilayah administratif baik provinsi, antar provinsi, kabupaten, kota, antar kabupaten, antar kota, serta antar kota dan kabupaten,” ungkapnya.
Baca Juga: Belum Ada Regulasi Yang Jelas, Para Sopir Truk di Jawa Timur Tolak Razia ODOL
Menurutnya, orang sering keliru saat bicara mengenai status kelas jalan ketika jalan itu berada di wilayah provinsi, kabupaten, dan kota. Di mana, orang lebih mengedepankan persoalan batas administratif. Padahal sesungguhnya, ketika bicara fungsi, jalan itu tidak mengenal administratif. “Kondisi ini masih persoalan di Indonesia hingga sekarang,” katanya.
Oleh karena itu, dia mengusulkan agar seharusnya kelas jalan itu diturunkan dari fungsi jalan dan tidak boleh dari status jalan. “Jadi, fungsi jalan itu dewanya yang membuat aturan yang bisa membuat jalan itu menerus per wilayah dan tidak boleh terpisah. Karena, fungsi jalan nanti, turunannya ada aspek prasarana dan sarana yang lewat,” ucapnya.
Masalahnya, menurut Agus, kawasan pabrik itu tidak ada yang berada di kota tapi semua berada di desa atau kecamatan. Dengan demikian, katanya, ketika mengangkut barang dari pabrik-pabrik itu menuju pelabuhan utama, truk-truk tersebut akan melewati jalan yang statusnya beda, mulai jalan desa, kabupaten, kota, provinsi, dan arteri (nasional).
"Tidak hanya statusnya, truk-truk itu juga pasti akan melalui jalan-jalan yang fungsinya juga berbeda. Mulai lingkungan primer atau jalan lokal, kolektor 3 atau jalan kabupaten, kolektor 2 atau jalan provinsi, dan kolektor 1 atau jalan arteri," lanjutnya.
Selain fungsi dan status, kelas jalan yang dilalui truk dari pabrik menuju pelabuhan utama juga berbeda. Menurutnya, terdapat tiga kelas jalan yakni kelas 3, kelas 2, dan kelas 1. Saat melalui jalan yang berbeda-beda itu, kata Agus, truk-truk itu tidak mungkin akan menurunkan barang-barang bawaannya saat akan pindah jalan.
“Kalaupun harus membongkar muatannya, kan dibutuhkan yang namanya terminal handling sebagai tempat untuk mengumpulkan barang-barang yang kelebihan muat. Masalahnya, terminal handling ini juga tidak pernah ada karena memang tidak diwajibkan dalam undang-undang,” tukas Agus.
Baca Juga: Ian Sudiana: Perkuat Alternatif Moda Transportasi Logistik Untuk Benahi Isu Zero ODOL
Fakta-fakta tersebut yang menurut Agus akhirnya membuat jalan-jalan itu. Khususnya jalan yang ada di kabupaten banyak yang rusak karena harus dilalui truk-truk besar. “Jadi, karut-marut antara kelas, fungsi dan status jalan inilah sebetulnya yang menjadi penyebab hancur-hancuran jalan itu. Artinya, penerapan kelas jalan itu tidak sesuai dengan penerapan status jalannya,” tukas Agus.