Tolak Kenaikan PPN: Saatnya Kebijakan Kreatif untuk Indonesia Lebih Baik
- Penulis : M. Imron Fauzi
- Sabtu, 21 Desember 2024 16:33 WIB
Oleh Achmad Nur Hidayat*
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi isu panas di kalangan masyarakat Indonesia. Petisi daring bertajuk "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" berhasil mengumpulkan lebih dari 100.000 tanda tangan, mencerminkan keresahan yang meluas.
Banyak pihak merasa bahwa kebijakan ini tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi mengapa pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kenaikan PPN, menunda implementasinya, dan mencari alternatif kebijakan fiskal yang lebih inovatif tanpa membebani daya beli masyarakat.
Kenaikan PPN di Tengah Pemulihan Ekonomi yang Rapuh
Rencana pemerintah untuk menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada Januari 2025 didasarkan pada UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, yang diproyeksikan menambah sekitar Rp100 triliun per tahun dari sektor pajak konsumsi.
Baca Juga: Tentang Pajak Penghasilan, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo Ajak Masyarakat Segera Laporkan SPT 2023
Namun, kenaikan ini diperkirakan dapat meningkatkan inflasi hingga 0,5 persen pada tahun pertama implementasi, terutama berdampak pada harga kebutuhan pokok dan barang lainnya.
Selain itu, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak pada pengeluaran lain untuk stimulus yang mungkin diperlukan guna meredam tekanan kenaikan harga terhadap daya beli masyarakat.
Dalam konteks stimulus, pemerintah telah menyiapkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan dengan total nilai Rp445,5 triliun atau 1,83 persen dari PDB.
Rincian paket ini mencakup 15 jenis insentif fiskal dan nonfiskal, termasuk pembebasan PPN untuk bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, dan gula konsumsi;