DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Spiritualitas di Era Artificial Intelligence

image
Ilustrasi. (istimewa)

Teknologi, dengan jangkauannya yang luas, mempertemukan jalan-jalan tersebut dalam kesadaran baru: semua pencarian mengarah pada tujuan yang sama, yang lebih besar dari kata-kata dan ritual.

Dalam kebebasan ini, kelompok Non-Affiliated muncul sebagai salah satu pencarian spiritual paling dinamis. Mereka menolak struktur tetapi tidak kehilangan kerinduan akan makna. 

Kini mereka yang menolak terafiliasi pada agama apapun menjadi penganut terbesar ketiga setelah Kristen dan Islam.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Neuroscience, Samudra Spiritualitas Berakar di Saraf Manusia

Ini bukan penolakan terhadap agama, melainkan pelepasan dari belenggu eksklusivitas, memberi ruang bagi kebebasan hati untuk merayakan spiritualitas di luar institusi.

Pada saat yang sama, biologi dan arkeologi membuka cerita manusia yang jauh lebih tua dari kisah kitab suci. Adam dan Hawa bukanlah kisah historis, melainkan simbol yang tak lekang oleh waktu. 

Sains, alih-alih mematahkan spiritualitas, justru membuka pintu baru untuk mengagumi kehidupan dalam dimensi yang lebih dalam.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Lima Prinsip Hidup Bahagia dan Bermakna

Hak asasi manusia pun semakin meluas. Setiap individu memiliki kebebasan meyakini apa pun, sejauh tidak melanggar hukum. 

Ini adalah taman subur bagi dialog lintas iman, di mana bukan hanya toleransi yang tumbuh, tetapi juga penghormatan pada keragaman. 

Teknologi menjadi katalis yang membantu kita melihat keindahan perbedaan tanpa merasa terancam oleh identitas orang lain.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika 180 Kreator Milenial dan Gen Z, dari Aceh hingga Papua, Bersaksi Melalui Puisi Esai

Di sisi lain, ilmu pengetahuan seperti neuroscience dan psikologi positif kini mempelajari kebahagiaan secara ilmiah. Namun, spiritualitas tetap memberi jawaban yang tak bisa dijelaskan oleh data. 

Halaman:
1
2
3
4
5
6

Berita Terkait