DECEMBER 9, 2022
Kolom

AI dan Roh Kreativitas: Tantangan Spiritualitas dan Kemanusiaan di Era Simulasi

image
Berthold Damshäuser (foto: koleksi pribadi)

Berthold Damshäuser*

ORBITINDONESIA.COM - Sejak saya lahir pada tahun 1957, dunia telah mengalami cukup banyak peristiwa dan penemuan yang sangat bermakna bagi umat manusia, misalnya pendaratan di bulan pada tahun 1969, pemetaan genom manusia pada tahun 2003, dan pendirian World Wide Web pada tahun 90-an.

Banyak lagi yang dapat disebutkan, tetapi ada dua hal yang sama sekali tidak boleh diabaikan, yaitu penemuan smartphone serta pengembangan kecerdasan buatan (AI), khususnya program-program seperti ChatGPT. Keduanya saya nilai sebagai hal atau faktor yang memiliki pengaruh tak tertandingi pada kehidupan sehari-hari manusia.

Yang pertama, smartphone, perangkat kecil itu yang bisa dibawa ke mana-mana, tidak hanya memungkinkan manusia berkomunikasi dengan satu sama lain tanpa batas, tetapi juga memberikan akses instan ke pengetahuan kolektif umat manusia, kapan saja dan di mana saja.

Pengetahuan ini, dari segi kuantitas, ribuan kali (atau 10 ribu kali, atau 100 ribu kali, entah …) lebih besar daripada apa yang dimuat dalam Encyclopædia Britannica—ensiklopedia yang terdiri dari 30 jilid dan sekitar 40.000 halaman. Ia memungkinkan tiap pengguna untuk berkembang menjadi semakin cerdas, namun sering menimbulkan efek sebaliknya, karena yang ditonton dan didengar di layar smartphone ini hanyalah hiburan murah yang memperbodoh.

Yang kedua dan tak kalah pentingnya adalah kecerdasan buatan (AI), khususnya program-program seperti ChatGPT. Jenis AI yang serba baru ini tidak hanya mampu menghasilkan segala jenis teks, tetapi juga pandai berdialog dengan cara canggih sehingga dialog dengannya tidak dapat dibedakan dari percakapan dengan manusia (yang sangat terdidik dan pintar).

AI ini, terutama jika ia terprogram untuk mengintegrasikan emosi khas manusia dalam pernyataannya, dengan cukup pasti akan mampu melewati Tes Turing, sebuah ujian yang dirancang untuk menentukan apakah sebuah mesin mampu meniru pola pikir manusia. Dalam Tes Turing, seorang manusia berinteraksi secara tertulis dengan dua peserta, satu manusia dan satu mesin.

Jika manusia penguji tidak dapat membedakan mana yang mesin dan mana yang manusia, maka mesin dianggap berhasil melewati tes tersebut, dan dapat dikatakan bahwa telah tercipta simulasi intelek manusia yang terkesan nyaris sempurna. "Simulasi", itulah kata kunci untuk memahami "kecerdasan buatan", karena kecerdasan itu sebenarnya hanyalah "kecerdasan yang disimulasikan".

Dalam esai singkat ini, saya akan memfokuskan pada aspek AI yang disebut di atas, yaitu kemampuannya dalam berdialog dan menyusun karya tulis, termasuk teks susastra alias seni bahasa. Saya akan membahas dampak negatif yang kemungkinan besar akan muncul seiring dengan penggunaan massalnya.

Selain itu, saya akan memandang aspek atau kemampuan AI itu dari segi agama atau spiritualitas, dan akan memberi gambaran mengenai apa yang bisa terjadi jika AI di masa depan akan dikombinasikan dengan robot humanoid. Saya berangkat dari pengalaman pribadi saya dengan AI, khususnya ChatGPT, yang telah saya gunakan secara intensif selama kurang lebih enam bulan.

Halaman:
1
2
3
4

Berita Terkait