Mengenang Herbert Feith: Demokrasi Gagal dan Uncivil Society
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Sabtu, 16 November 2024 02:50 WIB
Oleh Manuel Kaisiepo*
ORBITINDONESIA.COM - Tanggal 15 November 2001, Prof. Herbert Feith meninggal dunia akibat kecelakaan (sepedanya tertabrak kereta api) di Melbourne, Australia.
Sejak terbit mahakaryanya, THE DECLINE OF CONSTITUTIONAL DEMOCRACY IN INDONESIA (1962), Feith meninggalkan pertanyaan yang hingga kini belum sepenuhnya terjawab: "mengapa demokrasi konstitusional selalu gagal di Indonesia?" Itu pertanyaan era 1950an, namun terasa tetap relevan saat ini.
Baca Juga: Manuel Kaisiepo: Soeharto...
Bukankah sejak reformasi telah disepakati landasan baru kehidupan politik, kehidupan berbangsa dan bernegara adalah demokrasi yang berbasis supremasi hukum? Bahasa kerennya, democratische rechtstaat atau constitutional-democratic state.
Yang terjadi saat ini justru pengingkaran terhadap semua ideal-ideal itu. Kompetisi politik tidak sehat, penggunaan kekerasan dan manipulasi isu-isu primordial, manuver dan kontramanuver kotor dengan mengorbankan massa rakyat sebagai tameng, pemaksaan kehendak dengan melanggar prinsip-prinsip supremasi hukum.
Cita-cita civil society yang dulu nyaring didengungkan kini seakan senyap, tergantikan oleh 'UNCIVIL SOCIETY' (istilah Richard Boyd), yaitu kemunculan organisasi-organisasi atau kelompok yang justru tidak sipil, sebaliknya mengancam tatanan sosial ("the perils of pluralism").
Baca Juga: Prajurit TNI AL dan Diaspora Rayakan Natal di KRI Frans Kaisiepo
Ironis! Ini langkah mundur, mengulang kegagalan eksperimen demokrasi konstitusional era 1950-an sebagaimana pernah diungkapkan Feith.
Padahal di luar sikap objektifnya sebagai ilmuwan politik, Feith sesungguhnya mendambakan Indonesia sebagai negara baru pascakolonial yang mampu menjadi negara modern yang demokratis konstitusional.
Feith, seperti juga gurunya, l George McT Kahin, sangat percaya pada kapasitas intelektual, kapabilitas profesional, dan orientasi politik modern dan demokratis dari sebagian besar elite dan pemimpin Indonesia saat itu (ini melampaui kategori Feith yang terkenal tentang pemimpin "solidarity maker" vs "administratur").
Baca Juga: Manuel Kaisiepo tentang Buku Kebinekaan dan Kesetaraan Karya Tokoh Pluralisme Trisno S. Sutanto
Lalu, mengapa demokrasi konstitusional yang ingin dibangun era 1950an itu gagal?