DECEMBER 9, 2022
Ekonomi Bisnis

Ahmad Heri Firdaus: Pelarangan Truk Sumbu 3 Saat HBKN Harus Perhitungkan Penurunan Daya Beli Masyarakat

image
Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus (Foto: Istimewa)

ORBITINDONESIA.COM - Kebijakan pelarangan terhadap beroperasinya truk-truk sumbu 3 ke atas pada setiap momen Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) harus mempertimbangkan akan terjadinya penurunan daya beli masyarakat. Hal itu disebabkan terjadinya kelangkaan barang di pasar yang memicu kenaikan harga.

“Dalam teori ekonomi, sesuatu yang dibatasi apalagi dikurangi itu pasti akan menyebabkan kelangkaan yang otomatis akan menyebabkan kenaikan harga,” ujar Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, dalam acara diskusi publik yang diselenggarakan Institut Transportasi dan Logistik Trisakti baru-baru ini.   

Kondisi tersebut, menurut Heri, telah dibuktikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), di mana  pada setiap ada periode pembatasan angkutan barang, pada saat itu juga terjadi inflasi yang tinggi khususnya pada produk-produk makanan dan minuman.

Baca Juga: Anggota Komisi VII DPR RI Minta Pelarangan Truk Sumbu 3 Saat Libur Hari Besar Keagamaan Ditinjau Kembali

Dia mencontohkan, pada setiap Hari Raya dan akhir tahun yang inflasinya pasti di atas rata-rata inflasi pertahun. “Inflasi yang cukup tinggi ini akan mengakibatkan daya beli masyarakat menjadi melemah,” tuturnya.

Lanjutnya, yang biasanya kalau dengan uang Rp 1 juta bisa membeli 10 unit, tapi karena harga barangnya naik, uang sebesar itu tidak cukup lagi untuk membeli 10 unit. Mungkin cukupnya hanya membeli 9 unit saja. 

“Sementara, pelaku usaha yang tadinya biasa menerima order 10 unit, sekarang tinggal 9 unit saja. Makanya, pelaku usaha juga akan menurunkan produksi barangnya,” katanya.

Baca Juga: GPEI Minta Larangan Truk Sumbu 3 di Hari-hari Besar Keagamaan Perhitungkan Kerugian Ekonomi

Selain faktor inflasi yang cukup tinggi, Heri juga mengingatkan pemerintah agar mempertimbangkan fenomena terjadinya deflasi belakangan ini sebelum menerapkan kebijakan pelarangan terhadap sumbu 3 pada saat HBKN, terutama saat Natal dan Tahun Baru (Nataru) yang akan tiba dalam waktu dekat ini.

Dia mengatakan deflasi yang sudah terjadi selama 4 bulan berturut-turut belakangan ini dan data purchasing managers index (PMI) berada di zona kontraksi menjadi indikator perlambatan ekonomi.

“Dengan turunnya PMI, itu pertanda pelaku industri kita telah mengurangi belanja bahan bakunya, dan konsumsi masyarakatnya juga sudah terlihat melemah. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi akan terganggu,” tukasnya. 

Baca Juga: Libur Terlalu Banyak, Pengusaha Manufaktur Minta Kebijakan Pelarangan Truk Sumbu 3 Dikaji Ulang

Sementara, dia mengutarakan sektor industri pengolahan telah berkontribusi sebesar 18 persen terhadap perekonomian nasional. “Jadi, kalau sektor ini juga diganggu dengan kebijakan yang mempersulit mereka seperti pelarangan truk sumbu 3 pada saat HBKN, bagaimana industri pengolahan mau mencoba menyumbang lebih banyak untuk PDB nasional kita,” tandasnya.

Karena, katanya, kalau musim libur lebaran dan Nataru  itu biasanya menjadi momen bagi industri pengolahan untuk bisa menaikkan produksinya mengingat  belanja masyarakat lebih banyak saat itu.

“Tapi, dengan melarang truk-truk sumbu 3 mereka beroperasi, barang-barang mereka juga tidak bisa didistribusikan. Akibatnya, akan terjadi kelangkaan di pasar dan harganya mahal. Akibatnya, para industri itu juga akan mengurangi produksinya dan otomatis itu juga akan mengurangi kontribusi mereka terhadap ekonomi nasional kita,” ujarnya.

Baca Juga: Minta Dikaji Ulang, Pelarangan Truk Sumbu 3 di Saat Libur Besar Keagamaan Ganggu Proses Produksi Industri Kertas

Jadi, dia menyarankan agar sebelum dilakukan kebijakan pelarangan tersebut, perlu ada yang namanya Regulatory Impact Assessment (RIA). Sebab, menurutnya, melalui RIA ini, para perancang kebijakan publik dapat mengkalkulasi sejak awal berapa besar biaya yang ditanggung dan manfaatnya saat mengimplementasikannya.

Sehingga, pemegang kebijakan juga dapat mengevaluasi mana kebijakan yang produktif dan kontra produktif bagi dunia usaha maupun untuk kepentingan publik.

“RIA itu dilakukan di awal. Tapi, kita  kan biasanya melakukan RIA itu setelah kebijakan itu dijalankan. Jadi, kejadiannya sudah terjadi baru dievaluasi,” katanya.***

Berita Terkait