AI dan Roh Kreativitas: Tantangan Spiritualitas dan Kemanusiaan di Era Simulasi
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 23 September 2024 23:07 WIB
Salah satu tantangan terbesar yang kita hadapi di masa depan yang tidak jauh lagi adalah kombinasi antara robot humanoid dengan AI sejenis ChatGPT, berarti robot dengan kemampuan berdialog yang sangat canggih.
Robot-robot ini tidak hanya akan mampu berbicara dengan manusia secara alami, tetapi juga mampu meniru emosi dan perilaku manusia. Juga sudah ada upaya untuk menciptakan "sexbots", robot yang dirancang untuk meniru pengalaman hubungan intim.
Di masa depan, robot-robot ini tidak hanya akan meniru pengalaman fisik, tetapi juga akan mampu meniru emosi dan interaksi yang mendalam. Kenyamanan dan kesempurnaan yang ditawarkan oleh robot humanoid yang tentu saja akan berwajah menawan itu akan sangat menggoda bagi banyak orang. Robot demikian menawarkan alternatif nyaman dibandingkan manusia dengan segala kekurangannya. Dalam hubungan antar manusia, selalu ada tantangan, konflik, dan ketidakpastian.
Tetapi dengan robot ber-AI, semua itu bisa dihindari. Robot itu tidak hanya selalu siap melayani, tetapi juga dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan individu, termasuk kebutuhan intelektual. Akan ada robot yang dapat diajak berdiskusi seru tentang seni, budaya, dan filsafat.
Sungguh menggoda! Bayangan tentang dunia di mana manusia lebih memilih menjalin hubungan dengan robot daripada dengan manusia lain bagai mimpi buruk yang memikat. Namun, distopia demikian bisa saja menjadi kenyataan.
Sudah bisa dibayangkan: pasangan hidup semakin banyak manusia adalah robot, dan saat mereka merasa bosan dengannya, mereka akan beralih ke simulasi alternatif, yaitu permainan realitas virtual (virtual reality games). Pada intinya, skenario ini berarti kemenangan simulasi atas kesejatian.
Manusia akan semakin berinteraksi dengan simulasi diri serta simulasi pemikiran sendiri, simulasi yang telah diprogram sendiri dan diberi nama kecerdasan buatan. Penyimpangan dari kesejatian, dari realitas keberadaan yang lama, juga berarti meninggalkan esensi kemanusiaan yang telah ada sejak puluhan ribu tahun, yaitu bahwa sesama manusia adalah faktor terpenting dalam kehidupan.
Sepertinya, umat manusia sedang mengambil jalan baru. Saya bersyukur tidak perlu ikut serta dalam perjalanan itu. Anak-anak dan terutama cucu-cucu saya yang harus menjalaninya. Saya tidak ingin berada di posisi mereka. Enggan menjadi bagian dari era simulasi. ***
*Berthold Damshäuser, akrab dipanggil “Pak Trum“, lahir 1957 di Wanne-Eickel, Jerman. Dari tahun 1986 s/d tahun 2023 mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn. Koeditor Orientierungen, sebuah jurnal tentang kebudayaankebudayaan Asia. Penerjemah puisi Jerman ke bahasa Indonesia dan puisi-puisi Indonesia ke bahasa Jerman. Bersama Agus R. Sarjono menjadi editor Seri Puisi Jerman yang terbit sejak tahun 2003. Pada tahun 2010 ia dipilih Kementerian Luar Negeri RI menjadi Presidential Friend of Indonesia. Pada tahun 2014 dan 2015 menjadi anggota Komite Nasional Indonesia sebagai Tamu Kehormatan Pekan Raya Buku Frankfurt. Penulis esai dalam bahasa Indonesia yang terbit di Majalah Tempo, Jurnal Sajak, dan media lain. Bunga rampai tulisannya dalam bahasa Indonesia diterbitkan dalam buku Ini dan Itu Indonesia - Pandangan Seorang Jerman. Salah satu buku terbarunya berjudul „Mythos Pancasila“ dan terbit di Jerman pada tahun 2021. Anggota Satupena sejak tahun 2023, tinggal di Bonn/Jerman.