AI dan Roh Kreativitas: Tantangan Spiritualitas dan Kemanusiaan di Era Simulasi
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 23 September 2024 23:07 WIB
Saya memanfaatkannya sebagai asisten dan menyadari bahwa mengabaikan asisten yang sangat membantu ini akan sangat tidak bijaksana. Mengabaikannya sama bodohnya dengan menolak menggunakan program pengolah kata atau memilih menulis karya ilmiah maupun sastra dengan pena dan kertas. AI seperti ChatGPT sangatlah berharga, dan tentu saja saya juga telah menggunakannya dalam penulisan esai ini.
Dampak-dampak negatif Ketika pertama kali mengenal ChatGPT, saya terpesona oleh kecepatan dan kualitas teks yang dihasilkan. Dalam hitungan detik, AI ini mampu menulis teks yang mungkin akan memakan waktu berjam-jam, atau bahkan berhari-hari, untuk ditulis oleh manusia, termasuk penulis profesional. Lebih dari itu, kualitas teks yang dihasilkan jauh lebih baik daripada karya minimal 99 persen manusia (termasuk cukup banyak mahasiswa bahkan dosen universitas) yang memang tidak sanggup menghasilkan teks terstruktur dan bebas dari salah ejaan atau salah tatabahasa.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar: Jika AI bisa menulis lebih baik daripada manusia biasa, apakah di masa depan AI itu akan menguasai dunia tulis? Dan, bukankah manusia yang menyadari keunggulan AI akan menyerah, tidak mau menulis lagi?
Salah satu kekhawatiran terbesar saya adalah dampaknya terhadap generasi muda. Saya memikirkan David Arjuna, cucu saya yang tersayang, yang kini berusia delapan tahun dan sangat suka mengarang cerita. Setiap hari dia menulis cerita imajinatif dan sudah mengisi puluhan buku catatannya. Ia pun cukup bangga dengan prestasinya dan senang jika kakeknya menjulukinya „Goethe baru“.
Ia belum tahu tentang ChatGPT yang juga pandai mengarang cerita, sangat cepat, bertema apapun, dan tentu tanpa salah ejaan atau tatabahasa. Bagaimana reaksinya jika ia mengetahui bahwa ada alat dahsyat itu yang nyaris tak tersaingi? Jangan-jangan cucu saya yang berbakat ini akan merasa kesal dan minder, dan akhirnya berhenti menulis.
Sebenarmya dalam hal cucu saya, saya tidak pesimis, tetapi bagaimana dengan anak atau remaja yang tidak suka menulis? Saya kira kita harus siap menghadapi kenyataan pahit: Kebanyakan manusia akan semakin malas untuk berpikir dan berkreasi secara mandiri.
Daripada mencoba untuk menulis atau menciptakan sesuatu sendiri, mereka akan memilih meminta AI untuk melakukannya. Ini akan menyebabkan penurunan dalam kreativitas individu, dan pada akhirnya, penurunan dalam keberagaman dan kekayaan budaya manusia.
Perlu diingat, bahwa AI mengandalkan data dan pola yang sudah ada sebelumnya. Ia mengkombinasikan informasi yang ada dan mengolahnya menjadi teks baru yang senantiasa hanyalah hasil dari kombinasi materi lama, hanya daur ulang materi yang sudah ada. Sebuah inses intelektual. Dan, jika manusia semakin mengandalkan AI seperti ChatGPT, tidak lagi berlatih menyusun kata-kata, kalimat, dan ide-ide mereka sendiri, kemampuan literasi kritis akan mulai menghilang.
Pada akhirnya, jumlah mereka yang mampu mengedit karya AI tidak akan cukup lagi, sehingga inses intelektual sang AI akan mewarnai dunia tulis yang akan tenggalam dalam lautan mediokritas. AI dari Perspektif Agama Dalam hubungan ini, saya tidak menyoroti sudut pandang agama tertentu, melainkan mengedepankan pandangan yang dapat dianggap sebagai dasar dari hampir semua agama dan kepercayaan, yaitu dualisme antara tubuh (materi) dan jiwa (roh), alam dunia dan alam akhirat, kefanaan dan keabadian, di mana elemen kedua dari dikotomi ini dikaitkan dengan ranah keillahian atau transendensi.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan dalam ajaran ide filosof Yunani Plato, yang menempatkan dunia ide yang abadi berlawanan dengan ranah kefanaan. Pemikiran seperti ini yang menyebabkan kesimpulan bahwa ide-ide manusia sebenarnya berasal dari dunia spiritual.