AI dan Roh Kreativitas: Tantangan Spiritualitas dan Kemanusiaan di Era Simulasi
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 23 September 2024 23:07 WIB
Dalam tradisi religius dan spiritual, kreativitas manusia memang dianggap sebagai salah satu bentuk inspirasi ilahi. Para seniman, penyair, dan musisi dipandang sebagai saluran melalui mana dunia spiritual atau ilahi memanifestasikan dirinya di dunia ini. Untuk itu, dalam Islam dikenal konsep "wahyu", di Eropa ada istilah "percikan ilahi", dan di zaman Yunani kuno orang percaya pada dewi Muse sebagai sumber inspirasi yang bersifat ilahi.
Tak terhitung jumlahnya seniman (penyair, musisi, pelukis) yang telah mengkonfirmasi pandangan semacam itu. Rainer Maria Rilke sering berbicara tentang perasaan mendalam akan keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar, yang menginspirasi karyanya.
Ia menggambarkan bagaimana puisi dan ide sering kali muncul baginya dalam keadaan seperti trance, seolah-olah mengalir melaluinya. Goethe berbicara tentang momen-momen di mana ia merasa mengenali kebenaran universal atau memperoleh wawasan dari sumber yang lebih tinggi.
Dan Mozart berbicara tentang musik yang datang "dari dalam" dirinya, bahwa melodi dan komposisi sering kali muncul dalam bentuk utuh di kepalanya, seolah-olah terbang kepadanya dari dimensi lain." Pandangan seperti itu juga melekat dalam pemikiran religius, karena secara mendasar diasumsikan bahwa jiwa manusia terhubung dengan ranah ilahi.
Bagaimana perbandingannya dengan AI? Kita tahu bahwa AI tidak memiliki jiwa. Ia cuma sebuah program atau algoritme, tidak memiliki kesadaran, perasaan, dll. Ia bukan sebuah pribadi, melainkan cuma simulasi. Baginya tertutup akses ke dunia ide, dan tiada wahyu yang datang padanya. Maka, dari segi agama atau spiritualitas, AI tidak akan sanggup menghasilkan karya seni yang sejati.
Memang, ia dapat menghasilkan sesuatu yang bisa dipandang sebagai hasil seni, misalnya di bidang sastra. Ia mampu menulis prosa bahkan puisi, dan kualitasnya bisa saja setara dengan karya kebanyakan seniman manusia yang juga hanya sanggup menghasilkan karya medioker yang kelak akan dilupakan.
Bagi mereka, seperti halnya bagi AI, tertutup kemungkinan untuk menghasilkan karya agung dan unik, seperti puisi Rainer Maria Rilke atau Amir Hamzah. Karya seni yang agung memang sesuatu yang sangat jarang, dan saya percaya bahwa untuk mencapainya diperlukan apa yang bisa disebut sebagai "wahyu" atau inspirasi dari dunia ide yang abadi, dari dunia Ilahi.
Tentu, kepercayaan saya ini tidak sejalan dengan sains modern yang materialistis, yang hanya mengakui eksistensi hal-hal yang dapat diukur. Bagi ilmuwan materialistis, ide-ide muncul di otak dan merupakan produk dari sinapsis yang dihasilkan oleh aktivitas dan interaksi neuron.
Sedangkan dalam filsafat, misalnya dalam idealisme, terdapat pandangan berbeda yang menyatakan bahwa otak manusia harus dianggap sebagai cermin atau semacam penghubung untuk proses-proses di dunia spiritual. Pandangan ini sangat dekat dengan keyakinan dalam agama yang saya anggap tetap merupakan perspektiv penting dalam menilai kecerdasan buatan alias kecerdasan yang disimulasikan.
Masa Depan: Tantangan Besar Bagi Kemanusiaan