Oleh Gunawan Trihantoro*
ORBITINDONESIA.COM - Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering menyaksikan fenomena di mana perdebatan yang seharusnya menjadi ajang tukar pikiran justru berakhir dengan hinaan dan makian.
Kalimat-kalimat kasar seperti "bodoh" dan "bangsat" sering kali menggantikan argumen rasional.
Baca Juga: Lukisan Karya Denny JA dalam Perspektif Moderasi Beragama
Fenomena ini seolah mencerminkan bahwa ketika logika tidak lagi menjadi tumpuan, perdebatan berubah menjadi ajang emosional tanpa akal sehat.
Ketika ruang publik, terutama yang ditonton oleh mahasiswa dan generasi muda, diisi dengan debat semacam ini, kita perlu bertanya: apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan pendidikan karakter tokoh-tokoh kita?
Sebuah perdebatan yang sehat seharusnya didasarkan pada logika, bukti, dan analisis kritis. Namun, belakangan ini, banyak tokoh publik justru memilih untuk meninggalkan logika dan beralih pada penghinaan pribadi.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Di Kereta Itu, Tak Ditemukannya Sepasang Mata Bola
Mengeluarkan kata-kata seperti "bodoh" dan "bangsat" bukan hanya merusak suasana debat, tetapi juga menunjukkan ketidakmampuan seseorang untuk menjawab argumen lawannya dengan rasional. Ini adalah bentuk kekalahan yang lebih besar daripada sekadar kalah dalam adu argumen, ini adalah kekalahan karakter.
Ketika akal sehat tidak lagi menjadi pedoman, debat kehilangan makna. Tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi contoh intelektual malah memberikan contoh buruk. Ini adalah tanda bahwa beberapa dari mereka tidak lagi menganggap penting keadaban dalam berbicara, apalagi saat berada di depan khalayak yang lebih luas.
Mahasiswa dan generasi muda menjadi saksi utama dari banyaknya perdebatan ini. Mereka sering kali menjadi penonton setia di media sosial atau acara debat televisi, menyerap setiap kata dan sikap yang diperlihatkan oleh para tokoh publik.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Revolusi Kreativitas Bersama Artificial Intelligence (1)
Ketika mereka melihat bahwa kata-kata kasar digunakan sebagai "senjata" dalam perdebatan, mereka bisa saja berpikir bahwa hal ini normal dan bahkan efektif dalam menghadapi perbedaan pendapat.
Padahal, pendidikan karakter mengajarkan pentingnya sikap hormat terhadap orang lain, bahkan dalam situasi yang sulit atau penuh ketegangan.
Ketika mahasiswa menyaksikan tokoh-tokoh publik melontarkan hinaan, pesan yang tersampaikan adalah bahwa kekasaran bisa diterima dalam debat. Ini adalah kebalikan dari apa yang seharusnya mereka pelajari.
Baca Juga: Paus Berkati Lukisan Karya Denny JA Tentang Paus Fransiskus Membasuh Kaki Rakyat Indonesia
Pendidikan karakter adalah proses yang terus berlangsung sepanjang hidup, dan tokoh publik memainkan peran besar dalam membentuknya. Mereka memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap persepsi masyarakat, terutama di kalangan generasi muda.
Ketika seorang tokoh publik kehilangan kendali dalam debat dan menggunakan kata-kata kasar, ia bukan hanya merusak reputasinya, tetapi juga merusak harapan akan debat yang sehat dan beretika.
Seorang tokoh yang baik seharusnya mampu berdebat dengan tenang dan berbasis logika, meski dalam situasi yang memancing emosi.
Baca Juga: Lukisan Karya Denny JA di Gereja Katedral Jakarta Diberkati Paus Fransiskus
Menguasai emosi dan tetap berargumen dengan rasional menunjukkan kecerdasan emosional yang tinggi, yang tidak kalah penting dari kecerdasan intelektual.
Tokoh publik harus menyadari bahwa apa yang mereka ucapkan tidak hanya berdampak pada lawan debatnya, tetapi juga mempengaruhi cara pandang masyarakat luas terhadap perbedaan pendapat.
Untuk mengembalikan debat pada jalurnya, kita perlu memprioritaskan logika dan etika dalam komunikasi publik.
Baca Juga: Puisi Denny JA: Pesan yang Dibawa Seekor Burung yang Hinggap di Pundakku
Pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi harus lebih banyak menekankan pentingnya berdebat dengan argumen yang didasarkan pada data dan fakta, bukan emosi.
Selain itu, media juga memegang peran penting dalam menyaring dan menyajikan perdebatan yang berkualitas, bukan sekadar konten sensasional yang mengedepankan drama dan konflik.
Tokoh-tokoh publik perlu lebih sadar akan tanggung jawab moral mereka. Setiap kata yang mereka lontarkan memiliki dampak besar, terutama di era digital di mana segalanya dapat dengan cepat tersebar.
Baca Juga: In Memoriam: Faisal Basri dan Nyanyian Suara Kritisnya di Mata Denny JA
Mereka harus menjadi contoh bagi masyarakat dalam berargumen dengan elegan, tanpa terjerumus dalam kekasaran.
Debat tanpa akal sehat, yang ditandai dengan hilangnya logika dan maraknya kata-kata kasar, bukan hanya merusak etika komunikasi, tetapi juga memberikan dampak negatif terhadap generasi muda.
Ketika mahasiswa menyaksikan tokoh publik yang tidak bisa mengendalikan emosinya dan menggunakan hinaan sebagai argumen, pendidikan karakter yang selama ini dibangun menjadi sia-sia.
Kita perlu kembali kepada nilai-nilai dasar dalam berdebat: logika, data, dan kesopanan. Tokoh publik harus menyadari bahwa mereka adalah panutan, dan setiap kata yang mereka ucapkan membawa dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar memenangkan perdebatan. ***
*Penulis adalah pegiat Satupena Jawa Tengah, dan penulis buku-buku Moderasi Beragama, tinggal di Blora