DECEMBER 9, 2022
Kolom

Kurban Idul Adha Tanpa Hewan: Sebuah Tafsir Baru

image
Budhy Munawar-Rachman

Kedua, Keberagaman Dimensi Sosial: Kurban tidak harus berbentuk hewan; bisa berupa bantuan tunai atau bentuk derma lainnya yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Dengan dana kurban, bantuan bisa lebih variatif, seperti untuk pendidikan, kesehatan, atau kebutuhan lainnya yang lebih mendesak.

Ketiga, Kesadaran Lingkungan dan Hak Hewan: Kesadaran terhadap hak-hak hewan dan lingkungan semakin meningkat. Banyak yang merasa tidak nyaman dengan praktik penyembelihan hewan massal dalam ritus agama. 

Data menunjukkan bahwa lebih dari 50% rumah tangga di Amerika Serikat dan Eropa memelihara hewan peliharaan, dan riset menunjukkan bahwa hewan juga memiliki kesadaran dan kemampuan merasakan penderitaan.

Baca Juga: Renungan Iduladha: Akan Menguatkah Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama?

Pada era sebelumnya, kesadaran akan hak-hak hewan tidak sekuat sekarang. Namun, dengan semakin banyaknya film, riset, dan cerita nyata yang menunjukkan kedekatan emosional manusia dengan hewan, pandangan publik mulai berubah. 

Misalnya, film "Hachiko" yang memperlihatkan kesetiaan seekor anjing kepada tuannya telah menyentuh banyak hati dan memperkuat argumen bahwa hewan memiliki kesadaran dan perasaan.

Maka, mengulang yang sudah disebut di atas, menurut Denny, kita dihadapkan pada tiga pandangan yang berbeda tentang kurban Idul Adha: 

Baca Juga: Peneliti BRIN Tri Ujilestari Berbagi Cara Menangani Daging Kurban yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal

Pertama, pandangan mayoritas: Kurban hewan adalah wajib dan tidak bisa digantikan. Kedua, pandangan Muhammadiyah: Dalam kondisi tertentu, kurban hewan bisa digantikan dengan bentuk sedekah lainnya; dan ketiga, pandangan Shahid Ali Muttaqi: Kurban hewan tidak lagi diperlukan sebagai bagian dari ritus agama, dan bisa digantikan dengan bentuk pengabdian lainnya yang lebih relevan.

Menurut Denny, kita hidup di zaman yang menghargai perbedaan tafsir dan keyakinan. Perbedaan interpretasi dalam hal agama adalah hal yang wajar dan seharusnya diterima dengan sikap toleran. 

Dalam menghadapi perbedaan ini, utamakanlah dialog dan saling menghormati, membiarkan setiap individu atau komunitas memilih tafsir yang sesuai dengan nilai-nilai mereka.

Baca Juga: Orasi Denny JA: Menangnya Gerakan “Katakan Tidak kepada Keharusan Berjilbab"

Pandangan Shahid Ali Muttaqi mungkin belum menjadi mainstream saat ini. Namun dengan perkembangan kesadaran sosial dan filosofi yang terus berkembang, bukan tidak mungkin pandangan ini akan mendapatkan lebih banyak dukungan di masa depan. 

Halaman:
1
2
3
4
5
6
7

Berita Terkait