DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Diskusi SATUPENA, I Ketut Surajaya: Banyak Peraturan Untuk Raih Gelar Doktor dan Jabatan Profesor yang Tidak Jelas

image
Prof. Dr. I Ketut Surajaya (Foto: capture Youtube)

ORBITINDONESIA.COM - Banyak peraturan atau regulasi untuk meraih gelar akademik doktor atau memperoleh jabatan fungsional profesor yang tidak jelas atau bikin pusing.  Hal itu diungkapkan I Ketut Surajaya, Guru Besar Studi Jepang, Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI (SKSG UI). 

I Ketut Surajaya menjadi narasumber dalam diskusi daring Hati Pena di Jakarta, Kamis malam, 25 Juli 2024, yang bertema Menjaga Marwah Gelar Akademik.

Diskusi yang menghadirkan I Ketut Surajaya itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA yang diketuai Denny JA. Diskusi dipandu oleh Elza Peldi Taher dan Amelia Fitriani.

Baca Juga: Puisi Prof. Dr. I Ketut Surajaya: Hukum Kaya Tafsir

Dalam diskusi itu, I Ketut Surajaya memaparkan, peraturan untuk menjadi Doktor saja harus punya dua karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional berindeks Scopus.

“Saya termasuk orang yang sangat menentang hal ini. Kenapa? Yang meluluskan doktor itu apakah jurnal Scopus atau profesor dan dosen-dosennya di kampus? Tapi kan suara saya minoritas,” ujarnya.

“Saya bukan anti-Scopus, tetapi publikasi di jurnal Scopus sebaiknya jangan dijadikan syarat,” tegas I Ketut Surajaya.

Baca Juga: Puisi Prof. Dr. I Ketut Surajaya: ASTA BRATA

“Sekarang kan mereka pusing. Saya ikut pusing karena harus meneliti tulisan orang, meneliti jurnal orang. Padahal di dalam jurnal itu berantem sendiri di antara mereka, untuk mencari tulisan-tulisan. Maka kemudian lahirlah jurnal predator semacam itu,” tutur pakar tentang Jepang ini.

“Saya simpulkan, jurnal ilmiah ini sudah menjadi industri. Menjadi kerjaan calo-calo. Kalau ditanya datanya, saya tak punya. Tetapi banyak orang mengaku terlibat hal ini. Itu yang terjadi sekarang,” tambahnya.

I Ketut Surajaya juga mengamati, para doktor sebelum jadi profesor biasanya sudah menulis banyak karya ilmiah. Sesudah jadi profesor, seharusnya mereka menulis lebih banyak lagi.

Baca Juga: Puisi I Ketut Surajaya: GBHN

“Tetapi yang saya lihat, sesudah orang itu jadi profesor, dia tidak menulis lagi. Kan tidak nyambung, jadi karya ilmiah itu cuma diperlakukan sebagai syarat saja,” lanjutnya.

Halaman:
1
2

Berita Terkait