DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Diskusi SATUPENA, Siti Maemunah: Bicara tentang Krisis Lingkungan Tak Bisa Lepas dari Konsep Ekstraktivisme

image
Siti Maemunah dari JATAM (Foto: Youtube)

ORBITINDONESIA.COM – Bicara tentang krisis lingkungan saat ini tak bisa dilepaskan dari konsep ekstraktivisme.  Hal itu diungkapkan Siti Maemunah dari Tim Kerja Perempuan dan Tambang, Badan Pengurus JATAM.

Siti Maemunah menjadi narasumber dalam diskusi daring Hati Pena di Jakarta, Kamis malam, 18 Juli 2024, yang mendiskusikan seberapa parah krisis lingkungan Indonesia.

Diskusi yang menghadirkan Siti Maemunah itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA yang diketuai Denny JA. Diskusi dipandu oleh Anick HT dan Swary Utami Dewi.

Baca Juga: Syaefudin Simon: Masjid Ramah Lingkungan dan Minyak Jelantah

Dalam diskusi bertema lingkungan itu, Siti Maemunah memaparkan, ekstraktivisme adalah kegiatan yang membongkar dan memindahkan sumber daya alam dalam skala besar, baik berupa bahan mentah yang tidak diproses (atau diproses sebagian), terutama untuk diekspor.

“Ekstraktivisme tidak terbatas pada tambang mineral atau migas, tetapi juga pertanian, kehutanan, bahkan perikanan dan juga pariwisata,” jelas Maemunah.

“Pandangan ini berasal dari pengalaman negara-negara Amerika Latin, tetapi kemudian nyambung dengan pengalaman Indonesia,” lanjutnya.

Baca Juga: Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang Kembali Gelar Lomba Bank Sampah 2024

Diungkapkan oleh Maemunah, ini adalah kombinasi praktik pembangunan dan pemangsa, negara mengekstraksi dengan mengorbankan masyarakat. Ini didukung ekspor berbagai komoditi ekstraktif, termasuk minyak, gas, kayu dan mineral.

Menurut Maemunah, praktik ini sudah berlangsung lama. Yakni, sejak zaman kolonial (1800-an), pascakolonial (1945-1966), rezim ekstraktif (1966-1999), rezim ekstraktif dengan desentralisasi (1999-2009), dan rezim ekstraktif dengan “resource nationalism” (2009-sekarang).

Ditambahkannya, ada pemerintahan yang progresif dan seolah “pro-rakyat” tapi justru secara aktif mempromosikan ekstraktivisme. Tetapi ia melakukannya dengan strategi berbeda, yang mengkombinasikan reformasi kebijakan dan aturan (UU Cipta Kerja, amandemen UU Minerba) hingga subsidi keuangan.

Baca Juga: Geo Dipa Energi dan UGM Bikin Inovasi Penggunaan Pupuk Ramah Lingkungan dari Mineral Panas Bumi di Dieng

Tetapi, kata Maemunah, juga ada pengakuan terhadap hutan-hutan adat. Pada 2013, ada tuntutan masyarakat adat yang dimenangkan bahwa hutan adat itu bukan bagian dari hutan negara, walau perlu proses untuk diakui bahwa wilayahnya adalah hutan adat.

Maemunah memandang, yang sebenarnya terjadi adalah krisis hari ini, dan juga terutama pada era Soeharto, rezim itu hidup atau menghidupi kekuasaannya dari berbagai eksploitasi alam, sehingga bisa bertahan sampai 32 tahun.

“Kalau kita menggunakan pendekatan ekstraktivisme ini ada logika penjajahan yang berulang dengan model eksploitasi alam,” ucapnya.

Baca Juga: Penyair Frans Ekodhanto Purba Ajak Pembaca Peka kepada Lingkungan

“Mengekstraksi alam dengan mengorbankan masyarakat, ini seharusnya dilihat dari ekologi politik bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di bawah atau di lokal itu tidak lepas dari yang terjadi di global,” tambah Maemunah.

Dalam diskusi itu, Maemunah membatasi paparannya dalam konteks tambang. “Walau sebenarnya kalau kita bicara menggali tambang, maka otomatis hutan dan lahan di atasnya juga harus dibongkar. Sejumlah sumber air juga akan rusak,” tuturnya. ***

Berita Terkait