DECEMBER 9, 2022
Kolom

Ahmad Bahyj Gunawan: Bila Produk Hukum Mengamputasi Demokrasi

image
Ahmad Bahyj Gunawan (Foto: Koleksi pribadi)

Oleh: Ahmad Bahyj Gunawan*

Sistem pemerintahan modern yang dianggap paling baik adalah demokrasi. Kenapa? Karena dalam sistem demokrasi  -- di mana kekuasaan ada di tangan rakyat -- warga negara bisa menentukan arah  kepada negara untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai kebutuhan dan kepentingan rakyat (mayoritas). 

Dalam sistem demokrasi, perbaikan-perbaikan dalam hukum, kebebasan, pendidikan, kesejahteraan, dan hal-hal lain untuk kemaslahatan hidup rakyat dimungkinkan dan terbuka lebar. Rakyat yang terwakili di pemerintahan melalui parlemen bisa menyuarakan kehendaknya sesuai kondisi dan situasi yang ada saat itu.

Baca Juga: Kuasa Hukum Irman Gusman Optimistis, Mahkamah Konstitusi Kabulkan Permohonan Pemungutan Suara Ulang

Tapi bagaimana fakta di lapangan? Ternyata, jika melihat Indonesia saat ini, demokrasi  telah keluar dari jalur yang sebenarnya. Lembaga-lembaga tinggi yang memproduksi hukum, dengan mengatasnamakan demokrasi,  justru telah "menjegal aspirasi rakyat" untuk mendapatkan sistem pemerintahan yang adil sesuai rule of law. 

Di tahun 2023-2024, misalnya, rakyat Indonesia dikejutkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial tentang batasan usia capres dan cawapres; lalu muncul kontroversi putusan Mahkamah Agung (MA) No 24 P/HUM/2024 tentang Usia Calon Kepala Daerah.

Kemudian muncul kontroversi tentang Revisi UU TNI dan Polri yang dikhawatirkan akan menghidupkan kembali "Dwi Fungsi"  tentara dan polisi yang sudah dihapus di era reformasi.

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Sebut Terima Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Anwar Usman

Yang mencemaskan, semua keputusan dan revisi hukum tersebut di atas, kalau kita lihat dengan kacamata yang jernih, ternyata substansinya mengamputasi demokrasi. Pada keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Keputusan MA No 24 P/HUM/2024, misalnya, para pakar hukum menduga, dua keputusan tersebut mempunyai vested interest terkait pencalonan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai wapres dan Kaesang Pangarep sebagai kepala daerah. 

Sementara kontroversi tentang UU TNI dan Polri, dalam rancangannya di parlemen, jelas-jelas akan menghidupkan kembali Dwi fungsi TNI dan Polri. Artinya, anggota TNI dan Polri diperbolehkan untuk menduduki jabatan sipil di pemerintahan tanpa harus keluar dari keanggotaan di institusi sebelumnya.

Rancangan UU tersebut, jelas, jika disahkan DPR, akan mengamputasi demokrasi. Sekaligus menghapus hasil perjuangan reformasi yang berdarah-darah di era orde baru. 

Baca Juga: PDI Perjuangan Komunikasi dengan Fraksi Lain untuk Tolak Revisi UU Mahkamah Konstitusi

Salahkan revisi UU tersebut di atas? No, selama tidak melanggar aturan hukum dan konstitusi yang berlaku. Artinya secara prosedural revisi tersebut sah-sah saja. Yang jadi permasalahan, apakah revisi itu kompatibel  dengan prinsip-prinsip demokrasi modern yang diinginkan rakyat? 

Halaman:
1
2

Berita Terkait