Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (13): Nyai Asih Ikut ke Belanda
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 20 Mei 2024 09:00 WIB
Keluarga besar Arthur menganggapnya rendah.
Tetangga di sana,
melihatnya bangsa inlander,
kelas bawah, tak berbudaya,
sampah.
Asih bertambah sedih.
setelah Arthur meninggal.
Anak Arthur memutuskan.
“Rumah ini akan dijual.
Kau harus pindah.
Terserah, pergi ke mana.”
Di tahun itu, tahun 1956,
usia Nyai Asih tak lagi
muda, 42 tahun.
Ia tak punya apa-apa.
Asih pun pulang ke Cimahi, Jawa Barat.
Ia bertambah sedih.
Tetangga, dan keluarganya sendiri,
menganggapnya kotor.
Karena tak menikah,
ia dianggap berzinah sepanjang masa,
dengan penjajah pula,
dengan kafir pula.
Di Cimahi,
juga di Amsterdam,
sama saja.
Asih ditolak,
dijauhi,
dianggap kuman, membawa sial.
Sore itu, di kuburan Ayahnya,
Asih menangis,
dan protes.
“Abah, abah,
aku susah sekarang.
Mengapa, Abah..
Mengapa dulu Abah tega menjual aku?
Tolong aku, Abah.”
Suara angin di kuburan itu,
seperti bunyi suling,
mengalunkan lagu,
kisah seorang perempuan, tak berdaya,
luka di batin,
patah di akar,
meminta untuk mati saja.
Pohon kamboja di kuburan itu,
bergoyang ditiup angin,
suara daun dan ranting berderai-derai.