Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (11): Gadis Belanda Mencari Neneknya Orang Cimahi
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 16 Mei 2024 12:36 WIB
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - Ketika Belanda menjajah Indonesia, 1819-1942, banyak perempuan pribumi menjadi pembantu mereka, sekaligus istri tak resmi, yang kemudian disebut nyai. Tapi nyai tak memiliki hak apapun terhadap anak yang mereka lahirkan.
-000-
Bangunan itu sudah banyak berubah.
Dulu, enam puluh tahun lalu, di tahun 1940, di sana, hanya ada warung makanan, dari bambu.
Dan sebuah kisah cinta.
Cinta yang tak biasa.
Fagal, Gadis Belanda, di tahun 2000, sudah cukup lama, berdiri menatap bangunan itu, di Cimahi, Jawa Barat.
Dibandingkannya bangunan itu dengan foto hitam putih lama, yang sudah menguning.
Jauh berbeda.
Tapi aura masa silam, masih terasa.
Angin mengantar suasana tahun 1940.
Seorang perempuan Sunda menjual makanan, bernama Elis.
Dan lelaki Belanda, di sana, menghirup kopi.
Lalu mereka tinggal serumah.
Lahirlah Marteen.
Marteen itu Ayah Fagal.
Tapi di manakah Elis kini?
Jika masih hidup, Elis berusia 80 tahun.
Fagal datang menyusuri.
Mencari Elis, neneknya.
Usia Maarten baru dua tahun,
ketika Jepang datang, di tahun 1942.
Kakek membawa Maarten pulang ke Belanda.
“Aku akan ke sini lagi,
jika Jepang pergi.”
Hanya itu yang dikatakan kakek kepada Elis.
Elis menangis memeluk Maarten.
Kakek menangis memeluk Elis.
Di Belanda, kakek sudah punya istri.
Elis, walau dicintai kakek, tak bisa diajak.
“Bawa anakku kembali.
Jangan lupa bawa anakku ke sini.”
Berderai air mata Elis.
Dua lelaki yang dicintainya
segera hilang.
Sepetak- sepetak informasi dikumpulkan Fagal.
Semua pelan- pelan membentuk kanvas yang utuh.
Sebulan lalu, di Amsterdam,
Fagal dipanggil Oma Martha.
Terkulai lemah Oma Martha,
menanti ajal menjemput.
“Aku bersalah pada Ayahmu.
Hingga ajalnya,
Ayahmu tak tahu.
Aku nikmati itu.
Ayahmu selalu mengira, aku ibu kandungnya.”
Kaget sekali Fagal.
Ucapan itu seperti bom,
meledak tepat di ulu hatinya.
“Ketika kakek membawa Ayahmu ke sini, dari Indonesia,
Ayahmu masih dua tahun.
Waktu kakek wafat kecelakaan,
usia Ayahmu tiga tahun.
Ayahmu tak tahu apa-apa.”
Kubesarkan Ayahmu dengan kasih sayang.
Kubiarkan, ia mengira aku ibu kandungnya.
Kunikmati itu,
karena aku tak punya anak.
Waktu Ayahmu wafat,
terkulai diserang kanker,
sudah ingin kukisahkan yang sebenarnya.
Tapi wajah Ayahmu memelas.
Aku tak tega.
“Aku bersalah,
aku bersalah,” Oma Martha menangis, meraung-raung, menyesal.
Fagal ikut menangis.
Dipeluknya Oma Martha.
“Aku tak ingin rahasia ini kubawa mati.
Kau, Fagal, cari nenekmu.
Hanya foto ini yang diberikan kakek.”
Air mata Fagal, bertambah deras.
Oma Martha selama ini ia anggap nenek sendiri.
Ternyata Fagal punya nenek yang sebenarnya.
Orang Indonesia.
Hanya foto itu yang ia punya.
Tertulis tangan, Cimahi tahun 1940, dan nama jalan.
Itu hanya foto warung makanan,
dan wajah seorang perempuan,
yang tak lagi jelas.
Seminggu sudah Fagal di Cimahi.
Berbagai informasi ia kumpulkan.
Dari ahli sejarah.
Dari penduduk setempat.
Dari buku-buku.
Dari berita koran.
Dari kabar burung.
Fagal pun mengenal kata itu: Nyai.
Seorang perempuan pribumi,
awalnya menjadi pembantu rumah tangga Tuan Belanda.
Lalu menjadi istri tak resmi,
gadis simpanan,
atau gundik.
Kerja Nyai,
melayani tuan Belanda.
Melahirkan anak.
Tapi Nyai tak punya hak atas anak yang dilahirkannya.
Tuan Belanda bisa membawa anak itu kapan saja.
Hukum Belanda tak melindungi Nyai.
Masyarakat Belanda melihat Nyai bukan warga setara.
Beda agama.
Beda pendidikan.
Beda status sosial.
Beda kelas.
Tapi hari itu,
Fagal peroleh kisah berbeda.
Kakeknya benar-benar cinta Elis.
Ini kisah yang memang jarang.
Kakek hanya takut dibunuh Jepang.
Ia lari pulang ke Belanda.
Kakek berniat kembali ke Cimahi.
Tapi kakek wafat di Belanda,
tak lama sebelum Indonesia merdeka.
Fagal mengerti,
mengapa warung makan itu,
difoto kakek.
Di sinilah kakek jumpa Elis.
Di warung itu, kisah cinta dimulai.
Cinta yang rumit.
Satu hal membuat Fagal sedih.
Nenek Elis hilang entah kemana.
Terdengar kabar burung.
Elis diculik Jepang,
kerja di Kalimantan.
Fagal kembali tatap gedung itu.
Dilihatnya dengan mata yang berbeda, mata batin.
Terpana Fagal.
Dipandangnya lagi dan lagi.
Itu sinar matahari,
mengantarkan dua kupu-kupu, dari masa lalu,
terbang di sana.
Fagal merasa,
dua kupu-kupu itu mewakili kakek dan nenek,
datang ke sana, ke Cimahi,
ke bangunan itu,
untuk berterima kasih padanya.***
Jakarta, 16 Mei 2024
CATATAN:
(1) Diinspirasi dari banyak kisah perempuan pribumi yang menjadi Nyai. Salah satunya berita ini: