DECEMBER 9, 2022
Puisi

Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (10): Pulang Kampung Mencari Kenangan

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Di tahun 1942 -1945, 500 ribu pekerja paksa Indonesia dikerahkan Jepang ke luar negeri: Singapura, Thailand, dan Myanmar.

Setelah Indonesia merdeka, hanya 70 ribu yang kembali. Ratusan ribu mati merana.

-000-

“Jangan Pak, jangan.

Ia masih hidup.”

Bambang pegang kaki tentara Jepang.

Ia harap tubuh Sono tak dibuang ke lubang.

 

“Damaru!”

Teriak hardik dalam bahasa Jepang, tak dimengerti oleh Bambang.

Yang ia rasakan, keras sekali tendangan sepatu laras ke dadanya.

 

Menangis Bambang.

Dilihatnya wajah Sono,

masih hidup.

Tangan Sono menggapai-gapai,

minta Bambang menolong.

 

Tapi dua tentara Jepang, dingin saja, membuang tubuh Sono, ke lubang yang dalam.

Sono dikubur massal,

begitu saja,

bersama jasad pekerja romusa lain.

 

Bambang mendengar,

daripada menyembuhkan yang sakit,

Jepang memilih mendatangkan pekerja romusa baru.

 

Apa yang harus Bambang sampaikan ke keluarga Sono.

Tak tega ia mengabarkan kejujuran.

Sono dikubur hidup-hidup.

 

Bambang melihat langit.

Awan membentuk wajah raksasa,

dengan mata yang ganas,

dua taring tajam.

Awan itu memangsa.

Melumatnya.

Tanpa sisa.

 

Bambang merasa tubuh masih hidup.

Tapi jiwa sudah mati.

 

Terbayang wajah Dini.

Kekasih di kampung halaman.

Wanita cintanya.

Dini dikawinkan paksa dengan orang kaya.

 

Apakah ini semua,

yang membuatkan takut pulang?

Tanya Bambang berulang-ulang.

 

Tahun 1995.

Usia Bambang 74 tahun.

Ia berada di dalam bus,

membawanya kembali ke kampung halaman, Banjarnegara, Jawa Tengah.

 

“Ya, Gusti

Sudah 52 tahun, aku baru pulang.

Inikah kampung halaman?

Indonesia tak dikenali lagi.

 

Di tahun 1943,

bersama puluhan ribu pekerja paksa, Bambang diminta pak Lurah bekerja.

“Jepang saudara tua kita.

Ayo, kerja.

Jepang akan bantu kita merdeka.”

 

Bambang tak menyangka.

Ia dibawa sejauh itu.

Ia pernah naik kereta api.

Ribuan pekerja paksa berjejal di kereta.

Berhari-hari.

 

Kurang makan.

Kurang minum.

Kereta tertutup rapat.

Hanya sedikit udara.

Berhari-hari.

 

Susah bernapas.

Bau.

Lapar.

Sakit.

Berhari-hari.

 

Ratusan pekerja romusa mati di jalan.

Mayat dibuang begitu saja.

 

Bambang dikirim ke Thailand.

Ia bangun  rel kereta api, dari Thailand ke Myanmar sepanjang 415 km. (1)

 

Ketika Jepang kalah perang,

ia takut pulang kampung.

Bambang menikah, cerai, menikah, cerai di Thailand,

punya anak.

 

Dini, kekasih hati,

yang dipaksa kawin, tak kunjung hilang dari pikiran.

“Aku maunya dengan mas Bambang.”

Dini katakan itu berkali-kali,

sambil menangis,

memeluknya.

Itulah pertemuan yang terakhir.

 

Tahun 1995,

52 tahun kemudian,

Bambang pertama kali menginjak kembali kaki ke kampung halaman, Banjarnegara.

 

Ia dengar kabar,

Dini sudah wafat 7 tahun lalu.

 

Sore itu,

Bambang berkunjung ke makam Dini.

Bambang lepas cincin di jari.

Ia selipkan cincin itu,

di tanah kuburan Dini.

 

Sambil menangis,

Bambang berkata.

“Cincin darimu,

selalu kupakai, Dini.

Seperti yang kujanjikan padamu.”

 

Di makam itu, Bambang menangis lepas.

Air matanya mengalir,

menjadi samudra.

Ia tenggelam.

 

Bambang melihat langit.

Kembali awan-awan menjadi wajah raksasa.

Mata ganas.

Taring tajam dan buas.

Awan itu memangsanya.

 

Tubuh Bambang masih hidup.

Tapi ia merasa, jiwa sudah mati.

Sudah mati.

Sejak lama. ***

 

Jakarta, 14 Mei 2024

CATATAN

(1) Kisah pekerja paksa Romusha dari Jawa yang dikirim ke seberang lautan:

https://historia.id/urban/articles/romusha-di-seberang-lautan-6jzJ6/page/1

Berita Terkait