Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (11): Gadis Belanda Mencari Neneknya Orang Cimahi
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 16 Mei 2024 12:36 WIB
“Aku tak ingin rahasia ini kubawa mati.
Kau, Fagal, cari nenekmu.
Hanya foto ini yang diberikan kakek.”
Air mata Fagal, bertambah deras.
Oma Martha selama ini ia anggap nenek sendiri.
Ternyata Fagal punya nenek yang sebenarnya.
Orang Indonesia.
Hanya foto itu yang ia punya.
Tertulis tangan, Cimahi tahun 1940, dan nama jalan.
Itu hanya foto warung makanan,
dan wajah seorang perempuan,
yang tak lagi jelas.
Seminggu sudah Fagal di Cimahi.
Berbagai informasi ia kumpulkan.
Dari ahli sejarah.
Dari penduduk setempat.
Dari buku-buku.
Dari berita koran.
Dari kabar burung.
Fagal pun mengenal kata itu: Nyai.
Seorang perempuan pribumi,
awalnya menjadi pembantu rumah tangga Tuan Belanda.
Lalu menjadi istri tak resmi,
gadis simpanan,
atau gundik.
Kerja Nyai,
melayani tuan Belanda.
Melahirkan anak.
Tapi Nyai tak punya hak atas anak yang dilahirkannya.
Tuan Belanda bisa membawa anak itu kapan saja.
Hukum Belanda tak melindungi Nyai.
Masyarakat Belanda melihat Nyai bukan warga setara.
Beda agama.
Beda pendidikan.
Beda status sosial.
Beda kelas.
Tapi hari itu,
Fagal peroleh kisah berbeda.
Kakeknya benar-benar cinta Elis.
Ini kisah yang memang jarang.
Kakek hanya takut dibunuh Jepang.
Ia lari pulang ke Belanda.
Kakek berniat kembali ke Cimahi.
Tapi kakek wafat di Belanda,
tak lama sebelum Indonesia merdeka.
Fagal mengerti,
mengapa warung makan itu,
difoto kakek.
Di sinilah kakek jumpa Elis.
Di warung itu, kisah cinta dimulai.
Cinta yang rumit.