DECEMBER 9, 2022
Puisi

Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (11): Gadis Belanda Mencari Neneknya Orang Cimahi

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Elis menangis memeluk Maarten.
Kakek menangis memeluk Elis.
Di Belanda, kakek sudah punya istri.
Elis, walau dicintai kakek, tak bisa diajak.

“Bawa anakku kembali.
Jangan lupa bawa anakku ke sini.”
Berderai air mata Elis.
Dua lelaki yang dicintainya
segera hilang.

Sepetak- sepetak informasi dikumpulkan Fagal.
Semua pelan- pelan membentuk kanvas yang utuh.

Sebulan lalu, di Amsterdam,
Fagal dipanggil Oma Martha.

Terkulai lemah Oma Martha,
menanti ajal menjemput.
“Aku bersalah pada Ayahmu.
Hingga ajalnya,
Ayahmu tak tahu.
Aku nikmati itu.
Ayahmu selalu mengira, aku ibu kandungnya.”

Kaget sekali Fagal.
Ucapan itu seperti bom,
meledak tepat di ulu hatinya.

“Ketika kakek membawa Ayahmu ke sini, dari Indonesia,
Ayahmu masih dua tahun.
Waktu kakek wafat kecelakaan,
usia Ayahmu tiga tahun.
Ayahmu tak tahu apa-apa.”

Kubesarkan Ayahmu dengan kasih sayang.
Kubiarkan, ia mengira aku ibu kandungnya.
Kunikmati itu,
karena aku tak punya anak.

Waktu Ayahmu wafat,
terkulai diserang kanker,
sudah ingin kukisahkan yang sebenarnya.
Tapi wajah Ayahmu memelas.
Aku tak tega.

“Aku bersalah,
aku bersalah,” Oma Martha menangis, meraung-raung, menyesal.
Fagal  ikut menangis.
Dipeluknya Oma Martha.

Halaman:
1
2
3
4

Berita Terkait