Kejutan, Seabad Kelahiran Sastrawan AA Navis Jadi Peringatan Internasional UNESCO
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Kamis, 16 Mei 2024 09:30 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Kejutan sejatinya bagi Indonesia, pas Ulang Tahun Seabad Kelahiran Sastrawan Ali Akbar Navis atau AA Navis, bulan depan, tepatnya 17 November 2024 menjadi peringatan Internasional UNESCO.
Mengapa AA Navis dipilih UNESCO?
Tentulah prestasi, dedikasi, konsistensi terlebih integritas Navis berkarya sepanjang usia. Maka sejak setahun terakhir ini, melalui Yayasan AA Navis telah digelar beragam kegiatan kebudayaan, di awali di ranah Minang, berlanjut ke Jakarta, konon puncaknya di Perpustakaan Nasional Jakarta, lalu ke Markas Besar Unesco di Paris, November nanti.
Berapa karya AA Navis? Kalian dapat mencarinya di google. Di sini saya mengangkat Novel Kemarau.
Plus menampilkan cover Novel Robohnya Surau Kami, karya sastra begitu bunyi karena sosok utama cerita, Ustad, marbot masjid, beribadah sepanjang hayat di masjid, namun tak masuk surga. Antagonis.
Kisah di luar dugaan pun muncul seperti sikembar di Cerpen Man Rabuka, terbit 1957 di Bukittinggi. Siapa Tuhanmu? Cerpen kontroversi ini, salah satu tokoh, di kala hidup, mabuk-mabukkan, saat ditanya malaikat di kubur malah ngajak malaikat mabuk, bagaimana endingnya silakan dibaca.
Baca Juga: Hendrajit: Membaca Benang Merah Dalam Buku Novel Steve Berry dan Dan Brown
Menyimak Navis bagi saya bak meniti peradaban.
Terlebih dua kata nama depannya, persis nama sosok almarhum Kakek saya di Sungai Geringging, Pariaman. Karya-karya Navis begitu lekat di dada, terlebih langgam lucu, satir, menggigit, mengingatkan kepada tujuan kehidupan: sejatinya satu saja membangun peradaban bermutu.
Pada Kemarau, semula dimuat sebagai cerita bersambung di sebuah harian, tokoh utama Duano, berlatar kepribadian bermasalah ke sebuah kampung, menetap di Surau reot.
Baca Juga: Ivo Mateus Goncalves: Buku John Roosa tentang Kekerasan Antikomunis 1965-1966 di Indonesia
Ia bertani, di desa gersang. Ia bertani padi di sawah, mengambil air di tepi danau walau cukup berjarak dari desa. Di eranya warga lebih banyak main kartu, domino, di Lapau.
Tak heran Duano dicibir sekampung, lama kelamaan, ia menjadi panutan, karena panen melimpah, dan Navis membangun cerita melalui konflik Duano duda dan Gudam, janda desa.
Membaca Kemarau, laksana kini, di mana kemarau dan sikon perpinjolan menjebak sesak. Bagi saya Navis tauladan menulis, juga kehidupan. Maka saya pun terus menulis. ***