DECEMBER 9, 2022
Kolom

Taufan Hunneman: Figur Prabowo dan Tradisi Banyumasan

image
Menteri Pertahanan (Menhan) RI sekaligus calon presiden terpilih Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 Prabowo Subianto saat ditemui di kediaman Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Jakarta, Kamis, 11 April 2024. (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)

ORBITINDONESIA.COM - Seorang pemimpin biasanya diuji saat menghadapi krisis. Dalam situasi krisis pula, kualitas seorang pemimpin akan terlihat, bagaimana dia mengatasi situasi dengan tenang, nyaris tanpa gejolak.

Pelajaran seperti inilah yang bisa dipetik dari model kepemimpinan Prabowo Subianto. Model kepemimpinan Prabowo saat masih berdinas di Kopassus, Kostrad, hingga saat memimpin organisasi masyarakat sipil (selaku pendiri dan Ketua Umum Partai Gerindra), kiranya selalu aktual.

Figur Prabowo sangat identik dengan Korps Baret Merah (Kopassus), mengingat sebagian besar karir militernya dihabiskan pada satuan yang bermarkas di Cijantung (Jakarta Timur) itu.

Baca Juga: Aliansi Mahasiswa Sultra: Hashim Djojohadikusomo Bohongi Rakyat dan Catut Nama Presiden Jokowi

Hari jadi ke-72 Kopassus pada 16 April 2024 bisa menjadi momentum reflektif kepemimpinan Prabowo, menjelang pelantikannya sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2024.

Figur Prabowo bisa juga ditelusuri secara kultural, bahwa Prabowo berlatar belakang tradisi Banyumasan, Jawa Tengah. Sudah sejak lama Prabowo selalu menyatakan dirinya sebagai "wong Kebumen” (asli orang Kebumen).

Legasi Pak Cum

Baca Juga: Hashim Djojohadikusumo: Prabowo Subianto Tidak Perlu Mundur dari Jabatan Menteri, Cukup Mahfud Saja

Latar belakang kultural Prabowo dalam konteks tradisi Banyumasan bisa ditelusuri dari ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, yang dikenal sebagai ekonom senior, mantan menteri, dan intelektual yang mendirikan Fakultas Ekonomi (FE) UI.

Pak Cum, panggilan akrab Sumitro, dalam sebuah wawancara khusus dengan media nasional tahun 1990-an, secara berkelakar sekaligus bangga, menyatakan dirinya sebagai orang Banyumas. "Saya ini orang Banyumas, kalau ngomong blak-blakan," ujar Pak Cum, saat itu.

Pak Cum lahir di Kebumen, 28 Mei 1917. Tradisi Banyumas merupakan sub-kultur tersendiri, selain dialek, juga berbeda dalam perilaku, dibanding kultur Jawa "pusat" Mataram (Yogyakarta dan Solo).

Baca Juga: Setelah Ziarah ke Makam Ibu, Prabowo Ziarah ke Makam Ayah Sumitro Djojohadikusumo Didampingi Anaknya

Bahasa Jawa dialek Banyumasan tidak ada strata, seperti kromo inggil (bahasa tinggi) dan ngoko (bahasa pergaulan), dan itu berdampak pada perilaku warga pendukung tradisi Banyumasan, yang dianggap lebih terbuka dan egaliter.

Halaman:
1
2
3
4
5
Sumber: Antara

Berita Terkait