Kisah Nyata Inspiratif: Kurniah, Malaikat dari Kandang Jaran Itu Telah Pergi
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Jumat, 05 April 2024 02:44 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Seorang bayi perempuan lahir di desa Kaliwulu, Plered, Cirebon, 75 tahun lalu. Bayi itu imut. Cantik. Ia diberi nama Kurniah. Bayi mungil yang lucu dan menggemaskan itu tetiba harus menghadapi kenyataan pahit yang tidak disadarinya.
Ibunya sakit. Asiah, sang ibu, kakak ayahku, sakitnya tambah parah. Sampai kemudian meninggal ketika sang anak belum mengerti apa-apa.
Kurniah, tak tahu apa arti semua itu. Seorang bayi kecil tanpa ibu di sampingnya. Sulit membayangkan, bagaimana ia tumbuh dengan normal seperti orang lain. Ia dibawa ayahnya ke sana ke mari. Dari satu ibu tiri ke ibu tiri yang lain.
Baca Juga: Orang yang Berkurban Idul Adha Didoakan oleh Malaikat Sampai Hari Kiamat
Jadilah bayi perempuan itu diasuh ayah dan ibu-ibu tirinya. Kurniah punya tiga ibu tiri. Tapi gadis kecil itu tetap tabah. Tanpa pernah membenci ayah dan ibu-ibu tirinya. Ia anak penurut. Tak pernah protes, apa pun yg dilakukan orang tuanya. Ia menyintai semua ibu tirinya.
Keluarga sang ayah bukan orang kaya. Hidup sederhana. Bahkan sangat sederhana. Dalam kesederhanaan itu, Kurniah kecil tidak pernah hidup neko-neko. Ia menikmati kesederhanaan keluarganya. Ia berbakti kepada ayahnya dalam keadaan apa pun.
Kurniah kecil sekolah di kampungnya. Belum tamat sekolah menengah, ia dipinang seorang pria tamatan sekolah peternakan. Wahidudin namanya. Aku memanggilnya Mang Udin. Khas panggilan akrab di masyarakat Cirebon. Mang Udin, kalau dirunut, masih bersaudara dengan ibu kandung Kurniah. Istilah wong Cerbon tunggal buyut. Satu Mbah buyut.
Baca Juga: Dalam Bekerja dan Beribadah Kita Harus Ikhlas Karena Allah
Usai menikah, gadis cantik yang lembut dan sederhana itu diboyong suaminya ke Magelang. Suaminya bekerja di bagian pemotongan sapi milik AKABRI, Magelang. Tak jauh dari kompleks perumahan Pancaarga yang sangat luas milik AKABRI.
Tak lama kemudian, sang suami dapat jatah rumah. Rumah ini sebelumnya kosong karena "penghuninya" dipindah ke tempat lain. Tak ada karyawan sipil dengan pangkat kecil yang mau menempati rumah kosong yang sudah dikelilingi semak-semak dan ilalang itu.
Tapi ya, dari pada kontrak rumah, lebih baik diterima saja. Meski harus membersihkan semak-semak, rumput dan menghilangkan bau tak sedap di rumah itu.
Baca Juga: Putri Candrawathi, Saya Siap Jalani Sidang dengan Ikhlas Agar Semua Peristiwa Terungkap
Bau tak sedap? Ya. Karena rumah kosong itu bekas kandang jaran (kuda). Rumah itu kosong setelah jaran-jarannya dipindahkan ke kandang yang lebih baik. Mang Udin menempati kandang jaran itu.
Rumah berdinding kusam ini, interiornya tidak seperti rumah biasa. Ada kolam di samping rumah cukup besar. Kolam ini untuk memandikan jaran. Tapi kolam di dalam rumah kecil. Selebihnya ruangan dalam yang terbuka dengan kamar yang disekat-sekat. Maklumlah, itu bukan rumah untuk manusia. Tapi rumah jaran.
Aku ingat, di samping rumah ada sedikit lahan kosong. Yayu Kur --aku memanggilnya Yayu Kur karena ia kakak sepupuku-- memanfaatkan lahan itu untuk menanam berbagai macam pepohonan. Ada singkong, bayam, tomat, terong, dan lain-lain.
Baca Juga: Berbagai Tingkat Keikhlasan, Dari yang Terendah Sampai Tertinggi
Dari lahan itu, sayuran tinggal ambil. Tak perlu beli di warung. Di samping rumah, ada pohon alpukat yg tumbuh subur. Pohon alpukat ini selalu berbuah. Sepanjang tahun. Aku sering memetik buah alpukat ini dan membawanya ke kosku di Yogya.
Dengan gaji pegawai negeri golongan dua, Mang Udin menghidupi keluarganya. Tentu tak cukup gaji golongan dua untuk menghidupi keluarga kala itu. Apalagi Mang Udin dan Yayu Kur, kemudian punya tiga anak laki-laki. Alief, Ade, dan Maman.
Semua anak ini, di samping sekolah, diikutkan latihan bela diri di kompleks AKABRI. Alief dan Maman ikut karate. Ade ikut silat di padepokan Pamur, pencak silat Madura.
Baca Juga: Puisi Syaefudin Simon: Wudun Hilang Memasuki Tanah Haram
Yayu Kur adalah ibu yang amat perhatian terhadap sekolah anak-anaknya. Tiap malam ia membimbing anaknya membaca buku dan latihan matematika. Hasilnya, anak-anaknya senang membaca. Salah satu bacaan favoritnya, buku serial Api di Bukit Menoreh, karya SH Mintardja.
Puluhan seri buku Api di Bukit Menoreh berserakan di rumah kandang jaran itu. Aku pun sering mojok di kandang jaran untuk membaca serial Api di Bukit Menoreh. Kalau membaca buku itu, aku merasa jadi Agung Sedayu. Pria ganteng yang pinter silat dan punya kemampuan membelah diri menjadi tujuh Agung Sedayu.
Aku masuk UGM tahun 1978. Kalau lagi suntuk di Yogya aku main ke Pancaarga. Ke rumah kandang jaran. Masuknya dari jalan Pancaarga satu. Dari jalan raya Magelang, sekitar 2 km.
Baca Juga: Puisi Syaefudin Simon: Merpati di Masjid Nabawi
Turun dari bus Yogya Magelang, aku biasanya jalan kaki ke kandang jaran tersebut. Sambil jalan, mataku sering larak lirik kesana kemari. Siapa tahu ada gadis cantik anak petinggi ABRI di kompleks elit Pancaarga. Andai bisa kenalan, amboi.
Tapi ternyata tak ada. Belakangan aku dengar gadis cantik di kompleks Pancaarga, hanya ada satu. Namanya Ani. Sebelum aku kenal, ia sudah jadi pacar taruna bernama Susilo Bambang Yudhoyono! Wes. Dasar tidak jodoh.
Aku sering ke rumah Yayu Kur di kandang jaran karena suka jeroan sapi dan lamur. Ya, Mang Udin, suami Yayu Kur, biasa membawa daging-daging sortiran dari rumah potong AKABRI. Kata Mang Udin -- usus sapi, paru, hati, lemak, dan babat boleh dibawa karyawan rumah potong.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Tenggelamnya Rumah Allah oleh Banjir Kapitalisme
Taruna AKABRI hanya boleh makan daging sapi berkualitas tinggi. Semua jeroan boleh dibawa karyawan. Kalau tersisa, dibuang. Wah hebat taruna. Sejak kuliah sudah dimanja dengan makanan enak. Pantes setelah jadi tentara senengnya jadi pejabat agar makannya enak.
Sebagai anak kampung, di Cirebon aku sangat suka olahan usus sapi, babat, paru, lamur, dan lemak. Itu makanan favoritku di kampung. Makanya aku sering ke Pancaarga untuk menikmati makanan tersebut. Yayu Kur sangat pintar memasak jeroan sapi tersebut.
Saat itu, aku belum tahu apa itu makanan berkolesterol tinggi. Yang penting enak. Bagiku olahan lamur dan lemak sapi adalah makanan terenak. Kalau di Tasik ada warung bakso legendaris, namanya bakso Priangan. Bahan dasarnya lamur sapi. Bakso Priangan super laris. Dulu. Tapi kini sudah terdesak dengan warung bakso modern, yang bahannya daging berkualitas baik seperti menu taruna AKABRI.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Menulis di Kota Suci
Soal makanan di keluarga Yayu Kur cukuplah. Mang Udin sebagai pegawai negeri sipil di AKABRI dapat jatah beras. Lauk jeroan sapi tiap hari tersedia. Susu sapi sisa dari konsumsi taruna, juga kadang mampir di kandang jaran. Walhasil "daging sapi" dan susu selalu tercukupi.
Yang tidak tercukupi, uang! Ya uang dari gajian Mang Udin sangat minim. Hanya pas-pasan, kalau tidak dikatakan kurang, untuk membiayai keluarga beranak tiga itu. Itulah sebabnya, Yayu Kur kadang dagang baju. Belinya dari pasar Tegalgubug, kampungku, dijual di kompleks Pancaarga. Hasilnya bisa sedikit menambal kekurangan uang untuk sekolah anak-anak.
Meski dalam kondisi kekurangan, Mang Udin dan Yayu Kur sering tidak tega kalau melihat orang terlantar. Dengan susah payah, Yayu Kur mengambil dua anak terlantar. Namanya Nanang dan Tulus. Keduanya disekolahkan sampai tamat SMA.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Mencari Tuhan di Kabah
Tentu saja, dua anak ini, ikut membantu pekerjaan Yayu Kur di rumah. Entah ngurus kebun di samping rumah, atau bebersih. Kadang menjadi mitra anak-anaknya dalam latihan bela diri. Nanang dan Tulus satu klub latihan silat dengan Ade. Di pencak silat Pamur. Tulus satu tingkat di bawah Ade di klub silat Madura itu.
Oh ya, Yayu Kur juga mengambil anak gadis setempat yang terlantar karena ditinggal ibunya. Namanya Maya. Karena ibunya tak ada, Maya tinggal di rumah kandang jaran. Ia dianggap seperti anaknya sendiri.
Maya anaknya rajin. Pinter bergaul. Temannya banyak. Beberapa temannya anak pejabat tinggi di AKABRI sehingga Maya sering ditraktir dan diajak plesir.
Baca Juga: Kepemimpinan, DNA Pemenang dan Menyadari Potensi Potensi Dari Allah
Berkat bimbingan dan doa yang tak kenal lelah dari Yayu Kur, ketiga anaknya mampu bersekolah tinggi. Alief kuliah di FMIPA Kimia Universitas Brawijaya Malang. Kini Alief bekerja sebagai kepala laboratorium migas di British Petroleum, Tangguh, Papua.
Gaji besar dari perusahaan migas raksasa dari Inggris itu, dipakai untuk membangun madrasah dan sekolah di Desa Kaliwulu, Plered, Cirebon. Alief kini punya sekolah SD dan madrasah unggulan gratis untuk siswa tak mampu, dan sekarang tengah membangun pesantren tahfid di Kaliwulu.
Alief bercerita, ada orang kaya di Cirebon yang menghibahkan tanah luas dan bangunannya untuk dijadikan sekolah. Tapi saratnya, Alief yang mengelola keseluruhannya. Wah. Luar biasa.
Baca Juga: Abdul Hannan Ar Rifai: Pemimpin Harus Hadirkan Allah Dalam Setiap Langkahnya
Ade, alumnus STAN, Jakarta bekerja di Departemen Keuangan.Karena waktu kuliah dapat gaji, Ade ikut menanggung biaya kuliah kakaknya Alief di Malang.
Sedangkan Maman yang kuliah di Fakultas Kedokteran UGM, di samping dibantu keuangannya oleh Ade, juga oleh Alief setelah kakak sulungnya itu kerja. Ketika ambil spesialis THT di UGM, biaya kuliah Maman yang mahal ditanggung Alief sepenuhnya.
Maman, lulusan Fakultas Kedokteran UGM, kini direktur RSUD Purworejo. Kalau di RSUD, namanya bukan Maman. Tapi Tolkha Amaruddin, nama yang tertera di KTP-nya.
Baca Juga: RENUNGAN: Saat Engkau Merasa Kehilangan, Allah Mengganti Dengan yang Lebih Baik
Tante Hafsah, istri almarhum Achmad Munif, sastrawan dan novelis Yogya, pernah datang ke RSUD Purworejo ingin bertemu Maman. Hafsah masih satu kakek dengan Maman. Jadi masih saudara.
Tante Hafsah sampai putus asa di RSUD, karena tak ada satu pun karyawan dan dokter di sana yang kenal nama Maman. Dalam kondisi bingung, tetiba Maman muncul di lorong RS dan bertemu dengan Hafsah. Hafsah langsung memeluk Maman.
Ia cerita ke Maman, mencari dokter bernama Maman tak ada yang kenal. Maman pun tertawa. Jelaslah tak ada yang kenal, di sini namaku Tolkha Amaruddin, ujar Maman. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Orang rumah sakit pun baru tahu, kalau dokter Tolkha Amaruddin panggilan kecilnya Maman.
Baca Juga: Bagaimana Hukumnya Beribadah Karena Allah, Tetapi Juga Ada Niat niat Duniawi
Lanjut cerita tiga anak lain yang ditampung keluarga Yayu Kur di kandang jaran. Mereka juga berhasil dalam karirnya. Nanang kini bekerja di PT Badak, Bontang.
Tulus, adiknya Nanang, bekerja di Kemendiknas Jakarta, di direktorat olahraga. Dan Maya, setelah menjadi sarjana ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, kini menjadi politisi PPP dan membuka restoran di kota Kupang.
Cerita tentang Tulus, sangat menarik. Rupanya kemampuan silat dari padepokan Pamur berhasil mengantarkan Tulus ke puncak karir sebagai PNS/ASN sekaligus profesional pencak silat. Tulus kini menjadi pelatih senior pencak silat Percasi (Persatuan Pencak Silat Indonesia).
Baca Juga: Syaefudin Simon: Betulkah Pak AR Fachruddin Pemimpin Muhammadiyah yang Gagal
Ketika atlet pencak silat meraih 14 medali emas di Asian Games 2018, hampir semua atlit peraih emas itu pelatihnya adalah Tulus. Luar biasa. Tulus bercerita kepada Adek, dapat bonus dari Percasi sekitar lima milyar karena keberhasilannya dalam membina atlet sehingga meraih 14 medali emas.
Ade pernah bercerita padaku. Mang Sep (panggilan akrabku di kandang jaran), Tulus sekarang menjadi konsultan pelatih silat di Brunei Darussalam. Ia minta aku berhenti dari Departemen Keuangan. Untuk jadi pelatih silat saja di Brunei. Tulus yang merekomendasi.
Gajinya puluhan kali lipat dari bekerja di Depkeu. Tulus masih menganggap Ade adalah seniornya di padepokan Pamur. Sekarang Tulus tidak sekadar jadi pelatih pencak silat, tapi juga sudah meraih gelar doktor dari UNJ dengan disertasi masalah persilatan di Indonesia.
Baca Juga: Syaefudin Simon: In Memoriam Nirwan Ahmad Arsuka, Nabi yang Membuka Jendela Semesta
Cerita Maman -- eh dokter Tolkhah Amaruddin lain lagi. Suatu ketika, seorang kyai dari jam'iyah suatu tarekat datang ke rumahnya di desa Tirtoadi, Mlati, Sleman. Sang kyai tiba-tiba nyeletuk -- dokter kok rumahnya jelek sekali. Sampeyan dokter, rumahnya harus bagus.
Beberapa hari kemudian, sang kyai yang nyentrik ini, memberi tahu Maman, telah membelikan tanah di kota Purworejo -- dekat RSUD -- untuk Maman. Kyai itu juga membangun rumah mewah dengan luas tanah seribuan meter persegi. Uniknya, tanah dan rumah itu sudah bersertifikat atas nama Tolkha Amaruddin.
Tak hanya itu. Ketika ada rumah besar di pinggir jalan di Purworejo mau dijual, sang kyai membelinya. Rumah itu pun diserahkan ke Maman lengkap dengan serifikat hak milik atas nama Tolkha Amaruddin. Maman menjadikan rumah yang kedua sebagai klinik dan apotek.
Baca Juga: Manusia Takut Terbang ke Surga
Ajaib memang. Rejeki bagi dokter yang abid ini seperti janji Allah -- min haitsu laa yahtasib. Rezeki datang dari tempat yang tidak diperhitungkan. Mosok sih ada orang yang tiba-tiba membelikan tanah dan rumah berharga miliaran cuma-cuma seperti fiksi? Fakta memang lebih fiksi dari fiksi. Dan itu terjadi pada Maman. Aku menyaksikannya.
Lanjut! Ketika sang kyai tahu anaknya Maman ada yang kuliah di UGM, kyai itu pun langsung menanggung uang kuliah, buku-buku, plus uang makannya selama di kos-kosan.
Amin, putra Maman, kuliah di Fakultas Pertanian UGM, dengan SPP kategori termahal di UGM, sekitar 18 juta rupiah tiap semester. Maklum ayah ibunya Amin, keduanya dokter spesialis. Maman spesialis THT dan ibunya, Leli, spesialis kandungan.
Baca Juga: Musa Asy'arie: Keikhlasan Rasul dan Perempuan Yahudi Tua
Menariknya, semua anaknya Maman dan Leli masuk pondok pesantren di Jombang. Adiknya Amin, lulus dari pesantren Jombang dan hafal Quran, kini kuliah di Fakultas Kedokteran UIN Ciputat. Ia pun dapat beasiswa dari kyai unik yang kaya raya tadi.
Tapi yang membuat aku ngiri dari kedua "ponakanku" ini, ibadah spiritual dan ibadah sosialnya luar biasa. Jika aku menginap di rumahnya di Tirtoadi, Sleman, jam tiga malam Maman dan Leli sudah bangun. Mereka solat malam, lalu membaca Quran dan wiridan sampai pagi jelang berangkat ke kantor.
Suatu hal yang aku belum bisa melakukannya di usia 65 tahun ini. Padahal Maman dan Leli, usianya belum nyampe 50 tahun. Aku pernah bilang ke Maman. Man, kalau aku nginap di rumahmu, perasaanku seperti kebo nyusu gudel.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Oppenheimer di Balik Kemerdekaan Indonesia
Aku yang pernah sekolah madrasah di Tegalgubug dan dididik kyai kampung, belum bisa melakukan ibadah sepertimu. Aku mau berguru padamu soal agama yang benar.
Maman hanya tersenyum. Ia tahu aku dibesarkan di kampung santri Tegalgubug. Tapi aku maklum jika Allah belum memberikan rezeki yang muncul tiba-tiba seperti Maman. Salatku belum sekhusu dan serajin Maman. Jejak dosaku masih belum hilang sejak tinggal di Jakarta.
Hidup keluarga Yayu Kur dan anak-anaknya sangat religius. Mereka banjir kemaslahatan, kemuliaan, dan kekayaan. Hidup mereka berkah. Mereka dicintai tetangga, karyawan, sahabat, dan masyarakat sekitar.
Baca Juga: Puisi Syaefudin Simon: Wiji Thukul
Yayu Kur, pernah berkata, "Sep, hidup ini seperti di sorga. Di sini, apa pun ada. Setiap keinginan pasti tercapai. Semua orang bahagia. Indah sekali."
Aku yang belum pernah ke Mekah, didoakan Yayu Kur agar bisa segera ke Tanah Haram. Betul, doa Yayu Kur langsung didengar Allah. Setahun kemudian, tanpa aku duga, aku bisa menjejakkan kaki di Baitullah. Adikku Evi karena berhalangan, tak bisa berangkat ke Mekah. Aku diminta menggantikannya.
Aku sering ngobrol dengan Yayu Kur di meja makan, di rumahnya Maman. Yayu Kur selalu menyatakan rumah ini, maksudnya rumah Maman, adalah surga. Segalanya ada. Aku terdiam. Speechless. Tapi aku mengangguk. Aku membenarkan apa yang dinyatakannya. Aku merasa malaikat sering berkumpul di rumah itu.
Aku jadi teringat ayahku. Ayahku Sukarto pernah berucap, Kurniah itu punya hati malaikat. Nyaris langka orang seperti Kurniah. Ia baik kepada siapa pun. Dari mulutnya selalu terucap doa untuk kebaikan manusia yang ditemuinya.
Ya. Yayu Kur sudah hidup di sorga sebelum kematiannya. Baiti Jannti ternyata nyata. Ada di dunia ini juga. Yayu Kur telah merasakannya.
Sayang, malaikat itu kini telah pergi untuk selamanya, Sabtu, 23 Maret 2024 lalu di Tirtoadi, Mlati, Sleman. Tapi jejak-jejak kemuliaan dan kesuciannya masih terlihat melalui anak-anaknya. Juga melalui orang-orang yang pernah disentuh dengan doanya. Yayu Kur seperti cerita Midas. Apa pun yang sentuhnya menjadi emas.
Sampai jumpa Yayu Kur di sorga denganku nanti. Insya Allah! I love U.
(Oleh: Syaefudin Simon, kolumnis) ***