Suroto: Bung Hatta, Bapak Kedaulatan Rakyat
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Jumat, 15 Maret 2024 11:59 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Pada tanggal 14 Maret 2024, Bung Hatta atau Mohamad Hatta (1902-1980) kita peringati wafatnya yang ke 44 tahun.
Banyak predikat yang disematkan kepada tokoh besar Republik Indonesia ini. Sebagai pejuang dan proklamator kemerdekaan, ekonom, bapak koperasi dan banyak lagi.
Namun hal yang paling penting lagi, menurut saya, sebagaimana diusulkan oleh Prof Sri Edi Swasono, Bung Hatta itu layak kita sebut sebagai Bapak Kedaulatan Rakyat Indonesia.
Baca Juga: Bob Randilawe: Pesan Ganjar Pranowo untuk Barisan Sukarnois
Penyematan penghargaan ini tentu bukan isapan jempol belaka, sebab Bung Hatta-lah yang selalu konsisten dalam pikiran maupun tindakannya untuk memaknai istilah kedaulatan rakyat Indonesia tersebut.
Gagasan tentang Kedaulatan Rakyat Indonesia atau padanannya adalah Demokrasi Indonesia itu bahkan terus diperjuangkan secara konsisten dari sebelum Indonesia merdeka, ketika di pemerintahan dan ketika beliau kembali sebagai warga negara Indonesia biasa.
Bahkan dia tidak segan membuat kritikan tajam pada scholar lainnya mengenai perihak kedaulatan rakyat atau Demokrasi Indonesia melalui berbagai media.
Baca Juga: Urgensi Gelar Bapak Bangsa untuk Sukarno
Istilah kedaulatan rakyat (people soverignity) memang berasal dari gagasan para ahli ilmu sosial Barat dan terutama Jean Jacques Rousseau (1712 -1778).
Namun Bung Hatta memberikan sebuah pemahaman mendalam istilah kedaulatan rakyat tersebut justru dengan mendasarinya dengan kritik tajamnya terhadap makna kedaulatan rakyat dari Rousseau yang didasarkan pada dasar individualisme ala Barat yang hanya menekankan persamaan hak dan politik namun tidak dalam perihal perekonomian dan pergaulan sosial.
Bung Hatta menganggap demokrasi politik saja tidak lantas bisa dikatakan telah melaksanakan persamaan dan persaudaraan, dan karena itu, di sebelah demokrasi politik harus berlaku pula demokrasi ekonomi.
Baca Juga: Alex Runggeary: Bung Hatta, UMKM dan Papua
Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu juga harus berjalan sebagai dua sisi mata uang dan tidak terpisahkan. Demokrasi yang sesungguhnya tidak mungkin dapat berjalan dengan sistem autokrasi ekonomi dalam keseharian.