IN MEMORIAM: Sehari Dalam Kehidupan Ignas Kleden
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 22 Januari 2024 13:55 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Saya mengenal Ignas Kleden ketika acara Kongres Bahasa Indonesia di Jakarta (1998) Ketika rehat sidang pembukaan di Hotel berbintang Jakarta.
Mengenal Ignas Kleden sepintas lintas ketika ia duduk sendirian di taman halaman hotel. Ada beberapa figur lain yang ngobrol santai sambil berdiri. Mereka Ratna Sarumpaet, Slamet Raharjo.
Kemudian di sudut tak jauh dari Ignas Kleden duduk kritikus sastra Indonesia, Subagio Sastrowardojo, Saya berminat untuk menyapa Ignas Kleden untuk berkenalan.
Baca Juga: Sastrawan Abdul Hadi WM yang Karya-karyanya Bernapaskan Sufistik Meninggal Dunia
Namun, penyair sufistik Abdul Hadi WM mengajak saya menemui sastrawan Danarto yang terkenal dengan cerpen-nya “Adam Makrifat”. Syahdan, niat menjumpai beliau tak kesampaian.
Ketika kegiatan Seminar Kritik Sastra yang ditaja Pusat Bahasa, 21 September 2005, saya mendapat kesempatan diundang untuk menyampaikan makalah di antara pemakalah lain, seperti Puji Santosa, Faruk HT, Hasanuddin,dan Ignas Kleden serta Djoko Pradopo.
Di saat itulah saya berbual-bual dengan tokoh-tokoh pengamat sastra Indonesia, seperti Faruk HT, Hasanuddin dan terutama Ignas Kleden.
Baca Juga: BARAT dan TIMUR: Puisi Karya Abdul Hadi WW
Dr. Ignas Kleden menyampaikan pokok pikirannya tentang Pengajaran Sastra di Perguruan Tinggi.
Ignas menyatakan, kritik sastra memiliki dimensi waktu (memiliki nilai kesejarahan/historis). Kemudian, dia juga historis, yakni memilih ruang yang tak terbatas dan juga ruang terbatas/kontekstual.
Kemudian bagaimana pelaku berhubungan dengan lingkungannya. Bagaimana pula peranan penerima (resensi seni) dan peranan pencipta.
Baca Juga: In Memoriam Abdul Hadi WM: Penulis Besar Selalu Hidup Melalui Karyanya
Kritik sastra juga perlu memperhatikan kritik bersifat otonom dan kritik bersifat heterotonom (memiliki norma, adat, dan pendidikan serta sosial).