Dr HM Amir Uskara: Whoosh, dalam Perspektif Ekonomi Masa Depan
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 19 Oktober 2023 20:56 WIB
Biaya pembangunan Whoosh sangat mahal, 7,2 miliar USD (sekitar Rp 108 triliun). Dengan harga tiket sekitar 300 ribuan rupiah, kapan balik modal -- kata ekonom Faisal Basri. Faisal menyatakan, sampai kiamat pun beban utang pembangunan Whoosh tidak akan lunas. Whoosh adalah proyek rugi.
Orang yang berpendapat seperti Faisal Basri tidak sedikit. Rizal Ramli, Rocky Gerung, dan Eggi Sudjana misalnya, berpandangan seperti itu.
Tapi tidak bagi Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Roby Muhammad, peneliti jejaring sosial, alumnus Columbia University, AS.
Menurut Rhenald, melihat Whoosh harus melalui perspektif lain. Kenapa? Ilmu ekonomi sudah berkembang pesat. Dunia digital telah merubah cara pandang keekonomian suatu produk.
Baca Juga: Benny Ramdani Minta Kejaksaan Negeri Kota Tangerang Hukum Pegawai BP2MI yang Terlibat Pungutan Liar
Banyak faktor yang mempengaruhi nilai sebuah produk yang diperjualbelikan. Tidak hanya dari aspek BEP (break even point) atau kembali modal. Tapi berapa "economic serendipity" atau dampak ikutan ekonomi akibat keberadaan produk tersebut.
Hal senada dinyatakan Roby. Menurutnya, kehadiran Whoosh akan meningkatkan citra Indonesia di dunia internasional. Dari negeri berteknologi rendah, menjadi negeri berteknologi tinggi.
Apa yang dikatakan Faisal mungkin benar menyangkut BEP untuk modal yang dibenamkan dalam pembangunan KCIC. Faisal hanya fokus di modal finansial. Dampak lainnya seperti perkembangan ekonomi wilayah, pariwisata, dan citra atau branding terabaikan.
Dampak ekonomi terhadap perkembangan wilayah dan peningkatan pariwisata (yang tidak masuk dalam neraca perusahaan KCIC) bisa sangat luar biasa.