DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Dr HM Amir Uskara: Whoosh, dalam Perspektif Ekonomi Masa Depan

image
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dr HM Amir Uskara

Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara, Ekonom/Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

ORBITINDONESIA.COM - Whoosh, Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), sudah mulai beroperasi dengan tiket berbayar, Oktober 2023. Kecepatan maksimalnya, 350 Km perjam. Jakarta Bandung, ditempuh sekitar 30 menit saja. Luar biasa.

Whoosh, tidak hanya cepat. Tapi juga mewah. Dalam perjalanan 30-36 menit Jakarta-Bandung, penumpang dimanjakan dengan fasilitas modern. Interior mewah, mendengarkan musik, menonton film, dan layanan kuliner -- tinggal klik.

Tempat duduknya nyaman, hening, dan tanpa guncangan, pas untuk melepas lelah. Dengan demikian penumpang selama perjalanan seperti istirahat di tempat sepi dan nyaman.

Baca Juga: Sang Raja Buah Berpadu dalam Kain: Batik Durian Lubuklinggau Mendunia Merajut Tradisi Ciptakan Hal Fantastis

Dengan segala kenyamanan dan kecepatan yang wus (baca: sangat cepat seperti angin dalam bahasa Jawa), sistem transportasi Indonesia kini menuju babak baru. Transportasi cepat tidak hanya melalui pesawat terbang di udara. Tapi juga melalui jalur kereta api di darat.

Setelah KCIC Jakarta-Bandung rampung, akan segera dibangun kereta api cepat Jakarta-Surabaya. Kedua kereta cepat tersebut akan menghubungkan kota-kota besar di Pulau Jawa.

Dampaknya niscaya luar biasa. Ekonomi masyarakat di sekitar stasiun kereta cepat akan berkembang. Ekonomi pariwisata di Pulau Jawa pun akan berkembang wus. Secepat KCIC.

Bagi orang berpandangan positif, kehadiran kereta cepat Whoosh, akan berdampak besar pada kemajuan Indonesia ke depan. Tapi bagi yang berpandangan negatif, akan mempertanyakan untung rugi secara finansial dari Whoosh ini, seperti pedagang kelontong.

Baca Juga: Prediksi Skor Pertandingan Persikabo 1973 vs PSIS Semarang: Head to Head dan Perkiraan Susunan Pemain

Biaya pembangunan Whoosh sangat mahal, 7,2 miliar USD (sekitar Rp 108 triliun). Dengan harga tiket sekitar 300 ribuan rupiah, kapan balik modal -- kata ekonom Faisal Basri. Faisal menyatakan, sampai kiamat pun beban utang pembangunan Whoosh tidak akan lunas. Whoosh adalah proyek rugi.

Orang yang berpendapat seperti Faisal Basri tidak sedikit. Rizal Ramli, Rocky Gerung, dan Eggi Sudjana misalnya, berpandangan seperti itu.

Tapi tidak bagi Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Roby Muhammad, peneliti jejaring sosial, alumnus Columbia University, AS.

Menurut Rhenald, melihat Whoosh harus melalui perspektif lain. Kenapa? Ilmu ekonomi sudah berkembang pesat. Dunia digital telah merubah cara pandang keekonomian suatu produk.

Baca Juga: Benny Ramdani Minta Kejaksaan Negeri Kota Tangerang Hukum Pegawai BP2MI yang Terlibat Pungutan Liar

Banyak faktor yang mempengaruhi nilai sebuah produk yang diperjualbelikan. Tidak hanya dari aspek BEP (break even point) atau kembali modal. Tapi berapa "economic serendipity" atau dampak ikutan ekonomi akibat keberadaan produk tersebut.

Hal senada dinyatakan Roby. Menurutnya, kehadiran Whoosh akan meningkatkan citra Indonesia di dunia internasional. Dari negeri berteknologi rendah, menjadi negeri berteknologi tinggi.

Apa yang dikatakan Faisal mungkin benar menyangkut BEP untuk modal yang dibenamkan dalam pembangunan KCIC. Faisal hanya fokus di modal finansial. Dampak lainnya seperti perkembangan ekonomi wilayah, pariwisata, dan citra atau branding terabaikan.

Dampak ekonomi terhadap perkembangan wilayah dan peningkatan pariwisata (yang tidak masuk dalam neraca perusahaan KCIC) bisa sangat luar biasa.

Baca Juga: Inilah Cara Kurohige Dapatkan Duplikat Buah Iblis di Manga One Piece, Salah Satunya Kekuatan Shirohige

Mungkin nilainya dalam beberapa tahun sudah melebihi biaya pembangunan kereta cepat. Belum lagi, citra baik pemerintah yang terkerek akibat berhasilnya mengoperasikan Whoosh.

Ambil contoh kecil. Apakah operasi Busway dan Transjakarts di Jakarta menguntungkan secara bisnis dan bisa BEP dalam beberapa tahun? No!

Busway dan Transjakarta, jelas "proyek rugi" bila dilihat dari ekonomi komoditi atau ekonomi konvensional. Tapi bila dilihat dari aspek branding economy -- dioperasikannya Busway dan Transjakarta yang nyaman dan terintegrasi dalam sistem transportasi Jakarta, sangat menguntungkan. Jakarta sebagai ibu kota negara citranya naik di dunia internasional.

Serendipiti-nya, turis asing yang datang makin banyak dan investasi luar negeri pun makin meningkat di Jakarta.

Baca Juga: Joe Biden Mengatakan Bukan Israel yang Bertanggung Jawab Atas Ledakan Rumah Sakit di Gaza

Dua "item" itu saja sudah cukup untuk mengcounter kerugian atau menutup subsidi operasional Busway dan Transjakarta. Belum lagi citra tentang Jakarta yang naik di dunia internasional akibat sistem transportasinya yang bagus.

Dalam catatan peringkat kota termacet sedunia, sebelum ada Busway dan Transjakarta, posisi Jakarta berada di rentang 10 besar.

Kini, setelah ada Busway dan Transjakarta, termasuk KRL (kereta listrik) dan MRT (mass rapid transportation), posisi Jakarta sudah di bawah nomor 60. Artinya, Jakarta tidak lagi dikategorikan kota macet. Tapi kota yang transportasinya baik.

Dari aspek "branding economy" itulah seharusnya kita melihat KCIC Jakarta-Bandung. Dari aspek commodity economy, memang KCIC rugi. Bahkan mungkin tidak balik modal sampai kiamat seperti kata Faisal Basri. Tapi dari aspek branding economy, KCIC jelas sangat menguntungkan.

Baca Juga: Barcelona Diduga Tersandung Kasus Suap di La Liga Spanyol, Begini Kronologi Lengkapnya!

Citra Indonesia sebagai negara maju dan berteknologi tinggi, tidak hanya diakui luar negeri; tapi juga tersemat ke dalam dada setiap warga negara Indonesia (WNI).

Grace Natalie, wartawati yang kini jadi politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang sering bolak balik ke Singapura, bercerita: Bahwa warga negara Singapura dan Malaysia kini tidak lagi memandang rendah Indonesia seperti dulu.

Setelah banyaknya jalan tol, KRL yang bagus, MRT yang nyaman, dan KCIC yang wus, mereka hormat kepada Indonesia. Dan Grace merasa bangga. Self pride-nya sebagai WNI terdongkrak.

Dunia masa depan -- kata Rhenald Kasali -- akan ditentukan oleh tingginya branding atau citra ekonominya. Kota Dubai di Uni Emirat Arab sangat terkenal di dunia karena ada gedung pencakar langit tertinggi di muka bumi, Burj Khalifa. Tinggi gedung ini 828 meter.

Baca Juga: Skandal Terheboh: Britney Spears Ungkap Aborsi dalam Hubungannya dengan Justin Timberlake

Serendipity yang muncul akibat Burj Khalifa, Dubai menjadi tempat wisata dunia dan kantor bisnis internasional. Dubai pun menjadi kota transit terbesar di Timur Tengah.

Saudi Arabia kini tengah membangun kota Neom -- sebuah kota modern, ramah lingkungan, dan full digital seluas 30 kali kota New York. Biaya pembangunan Neom City, 500 milyar dolar, atau Rp 7,5 kuadriliun. Neom City dibangun untuk mewujudkan Visi 2030 Saudi Arabia.

Rugi? Secara ekonomi komoditi, mungkin rugi. Sulit BEP. Tapi dari sisi ekonomi branding, sangat menguntungkan. Karena di mata dunia, Arab Saudi menjadi negeri ultra modern. Turis internasional pun akan tertarik datang ke negeri gurun ini. Investasi asing akan berdatangan ke sana. Secara akumulatif, Neom City akan mengerek popularitas Saudi Arabia di mata internasional.

Itulah yang akan terjadi di Indonesia dengan adanya KCIC. Martabat Indonesia naik di masyarakat internasional. WNI pun bangga terhadap negerinya. Kepercayaan dirinya naik.

Koyenikan Idewo, seorang penulis Afro-Amerika, menyatakan: Kebanggaan rakyat (people pride) terhadap negaranya adalah identik dengan kebesaran negaranya. Kehadiran KCIC adalah sebuah upaya untuk menaikkan "self pride" rakyat Indonesia terhadap tanah airnya. Whoosh! ***

Berita Terkait