Bambang Prakuso: Mengapa Literasi dan Mutu Pendidikan Kita Termasuk Terendah di Dunia
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 27 September 2023 10:50 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Berikut ini adalah kesimpulan saya, setelah saya mengikuti berbagai seminar yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Perpustakaan nasional dan membaca banyak literasi tentang indeks literasi kita, baik minat baca, kegemaran membaca dan budaya literasi, serta perpustakaan.
Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah atas buruknya prestasi literasi dan mutu pendidikan kita. Karena pemerintah adalah organisasi yang besar dan birokrasinya berbelit-belit, serta rumit.
Terkait pendidikan, tidak mengherankan jika kami selangkah lebih maju daripada pemerintah dalam upaya meningkatkan minat baca yang lebih cepat dan efektif dibanding pemerintah.
Kami rakyat bebas, membaca dan belajar hari ini, kami terapkan besok, besok, dan besok. Akhirnya menjadi sebuah pengetahuan yang luar biasa.
Tapi sehebat apapun penemuan masyarakat, sekalipun bisa mengubah bangsa ini lebih baik, belum tentu bisa diterima oleh pemerintah. Apalagi mereka menutup diri terhadap perubahan. Mendikbud Nadiem Makarim sendiri mengatakan Kementerian Pendidikan adalah Kementerian yang sulit berubah.
Jika menteri sudah mengatakan begitu, kita rakyat mau bilang apa? Itulah permasalahan yang kita hadapi saat ini, mengapa minat baca dan skor PISA, serta mutu pendidikan kita termasuk terendah di dunia.
Sehebat apapun masyarakat menemukan sebuah ilmu dan cara untuk mengubah metode membaca, metode belajar, bahkan mengubah negara ini, lebih cepat dan lebih baik, tetap saja tidak ada guna.
Baca Juga: Lirik lagu SAYU, Soundtrack Film Petualangan Sherina 2: Kisah Dibalik Lagu nostalgia masa kecil
Kita cuma bisa teriak, jika negara lain mengambil alih ciptaan itu untuk kejayaan negara mereka. Tinggalah Indonesia terpaku menatap langit.
Berikut ini adalah analisa kami Mengapa minat baca, kegemaran membaca, budaya literasi kita, Skor PISA dan mutu pendidikan kita termasuk terendah di dunia.
1. Pengetahuan membaca kita dari SD sampai sekarang sama, tidak ada peningkatan. Kecepatan membaca doktor dan lulusan SD tak jauh beda 150-250 kpm (kata/menit) . Kita bisa membaca tapi tidak bisa membaca cepat, benar, dan efektif. Tidak ada kurikulum peningkatan kemampuan membaca di sekolah.
2. Siswa SD SMP dan mahasiswa serta guru kita masih membaca kata demi kata. Akibat baca lamban kita sulit menangkap arti sebuah kalimat atau alinea. Ketika kita tidak mampu menangkap inti kalimat dan alinea, maka kita tidak mengerti narasi sebuah soal.
Inilah sebab mengapa skor PISA kita rendah, karena salah satu penilaian adalah kemampuan membaca, di samping sains dan matematika. Kemampuan membaca kita sangat rendah. Siswa kita tidak tahu apa yang mereka baca.
Baca Juga: Liga Italia, Gol Arkadiusz Milik Pastikan Kemenangan Juventus atas Lecce
3. Bahkan petugas perpustakaan tak mampu baca 1 buku/tahun. Ini adalah fakta, dari 10 petugas perpustakaan yang kami tanya berapa buku dibaca 1 tahun, jawaban mereka 1 pun tidak. Hal yang sama terjadi pada ribuan guru yang kami tanya. Kalau siswa, tidak usah ditanya lagi.
4. Teknologi membaca kita tertinggal. Finlandia, AS, India, Jepang, China dan lain-lain, sibuk belajar baca cepat. Di Indonesia, pengetahuan membaca dianggap tidak perlu. Sekolah enggan ikut kursus baca cepat walau murah, dengan alasan tidak ada dalam Kurikulum.
Akibatnya kecepatan membaca kita jauh tertinggal. Bayangkan kecepatan baca kita maksimal 300 kpm, sementara China dan Amerika telah mencapai 25.000 kpm.
Kemendikbud dan Perpusnas tidak memasukkan kecepatan membaca sebagai kriteria atau indikator minat baca. Tidak berani atau tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu? Jika kita tidak mau berubah, sampai kiamat pun kecepatan membaca kita terendah di dunia.
Baca Juga: Menguak Perkembangan Kawah Batagaika, Pemanasan Global Membuka Rahasia Bawah Bumi
5. Kita berpikir minat baca kita rendah karena buku kurang. Kita tidak pernah tahu rumus meningkatkan minat baca adalah meningkatkan kecepatan membaca.
"Semakin tinggi kecepatan membaca semakin tinggi minat baca, semakin rendah kecepatan membaca, semakin rendah minat baca". Karena ketidaktahuan itu maka kursus membaca cepat dianggap tidak penting. Ketika diabaikan, sampai kapanpun minat dan kecepatan baca kita rendah.
6. Tidak ada rasa malu. Ketika Thailand dinyatakan Nomor 59 negara paling malas baca di dunia, kita nomor 60, Thailand punya rasa malu. Mereka mau berubah. Mereka mewajibkan mind mapping dan wajib baca.
Hasilnya, Thailand jauh meninggalkan kita. Tahun 2018 mereka mampu membaca 5 buku per tahun, kita 1 buku pun tidak. Mereka mampu meningkatkan minat bacanya 65,1 persen kita hanya 0,001 persen. Terlalu...
Baca Juga: Halaqah Ulama Merah Putih Cirebon Dukung Ganjar Pranowo, Ulama dan Kiai: Bismillahirrahmanirrahim
7. Wajib Mind mapping. Thailand mewajibkan mind mapping dalam proses belajar dan mengajar, kita masih saja menggunakan catatan linear dan peta konsep.
Peta konsep menggunakan otak kiri yang membuat siswa cepat bosan dan enggan belajar.
Mind mapping adalah bagian dari pelajaran SSRA (Super Speed Reading Alfateta).
8. Kambing Hitam Keliru. Kita masih saja mencari kambing hitam minat baca rendah: buku kurang, anggaran kurang. Kita lupa zaman sudah maju, jika buku tidak ada, ebook ada. Teknologi e-book bisa menghemat biaya pembelian buku sampai 90 persen atau 80 persen. Kenapa kita masih berpikir hanya satu cara, banyakin buku?
9. Kita masih sibuk mempermasalahkan internet untuk akses ebook. Kami yakin, pejabat kita tahu, sekarang sudah ada teknologi intranet. Kita tidak memerlukan internet, data, atau wifi untuk mengakses ebook. Jadi gak ada alasan minat baca daerah 3 T (terluar, tertinggal, termiskin) sulit atau tidak bisa dilakukan.
Baca Juga: Hendry Ch Bangun Jadi Ketua Umum PWI 2023-2028
10. Kita mengeluh karena kekurangan buku bermutu. Pemerintah tidak sadar, mereka sendiri yang "membunuh" penulis/pengarang. Kita menganjurkan membaca dan menulis, sementara penulis buku bermutu di Indonesia nasibnya ditelantarkan.
Bukan cuma honornya tak sebanding dengan waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan, tapi masih dipajaki dan dibiarkan bukunya dibajak.
11.Negara masih saja berpikir konvensional. Sekarang untuk menerbitkan karya tulis, pengarang sudah bisa langsung menerbitkan ebooknya tanpa perlu penerbit. Aneh, ketika pemerintah masih membeli ebook langsung dari penerbit.
Inilah yg membuat anggaran literasi membengkak, dan terjadi peluang pembajakan ebook oleh penerbit dan masyarakat. Akibatnya fatal, pemerintah mendorong literasi menulis tapi membiarkan mereka mati.
Kita khawatir bukan saja minat baca kita jatuh ke titik nadir, tapi juga minat bangsa kita untuk menulis. Sedih sekali, sudahlah kita impor beras, terigu, sayur dan buah-buahan, gula, garam dan air, kini harus impor pengetahuan dari luar.
Baca Juga: Indonesia Raih Emas Ketiga di Asian Games 2022 Melalui Cabang Olahraga Wushu
12. Kemendikbud melakukan pemborosan tanpa manfaat. Pemerintah sudah membeli hak cipta buku-buku pelajaran dan membagikannya gratis dalam bentuk ebook. Tapi kementerian Pendidikan masih saja membeli buku buku pelajaran yang sangat tebal dari penerbit.
Ada apa ini? Lalu buat apa ebook yang sudah dibeli dan dibagikan gratis? Mubazir dan pemborosan. Ngono yo ngono, tapi yo ojo ngono?
13. Alasan tidak tepat. Kita mengeluh minat baca rendah karena kurangnya perpustakaan, kita lupa bahwa kita pemilik perpustakaan nomor 2 terbanyak di dunia setelah India. Di bawah kita Rusia dan Tiongkok, negara yang berpenduduk dan lebih besar dan luas dari negara kita.
14. Kita cuma mubah baca. Ketika negara yang pendidikan maju mewajibkan baca terukur, kita hanya mubah baca, artinya dikerjakan tidak apa-apa, tidak dikerjakan juga tidak apa-apa. Program baca 15 menit sehari program tak efektif kalau tahu metode baca SSRA.
15. Tidak pede. Ketika dunia sibuk mengikuti olimpiade baca cepat, kita merasa diri kita tidak pede. Jangankan baca cepat, membaca lamban saja dipelihara.
Baca Juga: Robert Downey Jr Ikut Meyakinkan Chris Evans untuk Tetap Perankan Captain America
16. Apa itu Indonesia emas? Para pejabat mengatakan minat baca bangsa kita akan naik saat Indonesia emas. Tak ada definisi jelas apa itu Indonesia emas? Ketika negara maju berpikir bagaimana meningkatkan minat baca, gemar membaca, dan budaya literasi dalam waktu cepat (2 tahun saja), Indonesia menunggu Indonesia emas, 10 atau 20 tahun lagi?
17. Penjara Pikiran. Ketika negara lain optimis bisa meraih skor PISA tertinggi, menteri pendidikan kita malah terpenjara pikirannya, jangan terlalu berharap katanya? Motivator bilang kalau kita berpikir kecil hasilnya juga kecil.
18. Percuma Ganti Menteri. Kita sudah gonta ganti kurikulum, menteri pendidikan, bahkan presiden, tapi mutu pendidikan kita tetap termasuk terendah di ASEAN bahkan dunia. Mengapa, karena pejabat tinggi penentu kebijakan di bawah menteri itu itu saja. Mereka tidak mau berubah, bahkan konsep lama dipertahankan.
19.Tidak mau berubah. Ketika pak Jokowi mengatakan bahwa mereka yang menang adalah mereka yang mau berubah, kementerian pendidikan kita sulit menerima perubahan, dan tidak mau berubah. Ini diakui sendiri oleh pak Nadiem Makarim.
20. Anggaran dihamburkan tak efektif. Berapapun anggaran literasi jika dikelola dengan baik pasti dapat digunakan untuk meningkatkan minat baca dan mutu pendidikan kita. Apa guna sering seminar dan acara seremonial tapi yang dibicarakan cuma laporan indeks literasi kita dan himbauan membaca itu penting.
Siapapun tahu itu. Sampai lebaran kuda tidak bakal bisa menaikkan indeks literasi kita, seberapa besar pun anggaran yang digelontorkan. Kenapa tak dibuat pelatihan cara meningkatkan minat baca yang kreatif di sela rapat atau seminar?
21. Metode Baca Ketinggalan. Ketika negara lain sudah belajar teknologi membaca, bagaimana membaca 1 halaman 1 detik, kita membaca satu kalimat pun sulit mengerti, karena kita tidak pernah diajarkan dan dibiasakan membaca cepat, benar dan efektif.
22. Hanya meeting, hasil tak ada. kita rajin adakan meeting, Seminar dan sarasehan literasi dengan anggaran fantastis, milyaran. Tapi para pejabat literasi kita hanya bisa bicara bahwa buku itu penting, buku itu bermanfaat. Setiap orang harus baca buku.
Baca Juga: Kapan Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 62 Dibuka, Catat Jadwal, Cara Daftar, dan Linknya
Tapi seminarnya dari dulu sampai sekarang cuma itu-itu saja. Tidak ada upaya bagaimana caranya masyarakat bisa membaca cepat, benar, dan efektif, sehingga minat, kegemaran membacanya dan tingginya budaya literasi mereka meningkat.
23. Penghargaan terhadap pengarang rendah. Ketika negara lain, mencari cara bagaimana mengatasi jumlah buku yang semakin menurun karena ada ebook, kita masih sangat tergantung dengan kehadiran buku cetak.
Padahal akibat gadget, milenial kita sudah beralih ke gadget. Kita menghimbau agar mereka baca buku tercetak. Sampai bibir dower nyaris tak ada pengaruhnya. Ajarkan cara cepat, benar dan efektif membaca ebook, memanfaatkan AI (Artificial Intelligence). Orang sudah berpikir ke era industri 4.0/5.0, kita masih pakai pola pikir industri 2.0/3.0?
24. Kurikulum merdeka yang tidak merdeka. Kita menggunakan kurikulum merdeka belajar, tapi faktanya siswa kita dicekoki oleh guru pengetahuan cara belajar yang masih terbelakang. Siswa disuruh meringkas dengan catatan linear, pada hal ada mind mapping.
Baca Juga: Penemuan Misterius: 8 Mumi dan Artefak Pra Inca Terungkap di Peru ketika Penggalian Gas
Siswa disuruh baca lamban, padahal sudah ada SSRA (ilmu baca cepat, benar, dan efektif). Katanya kurukulum merdeka, tapi anak-anak tidak boleh menggunakan mind mapping dan SSRA, karena dianggap tidak sama dengan guru dan siswa lain. Lalu letak Merdeka belajarnya di mana? Merdeka belajar untuk guru atau siswa?
Apakah perubahan hanya bisa terjadi setelah ada imam Mahdi, revolusi, atau bencana dahsyat yang memporak-porandakan bangsa ini?
Benar, bisa dimaklumi pemerintah adalah organisasi besar, sehingga lamban bergerak. Birokrasi yang berbelit belit dan mental feodal telah memenjarakan pikiran rakyat dan para pejabat. Birokrasi membuat kita menjadi lamban dan sulit menerima perubahan dengan cepat.
Zaman bergerak cepat. Masihkah kita menunggu undang-undang literasi, sementara minat dan kecepatan membaca kita terus terpuruk?
Charles Darwin mengatakan, "Negara yang menang di masa depan, bukan negara yang kuat, bukan negara yang pintar, bukan negara yang kaya, tapi adalah negara yang mau berubah".
Oleh: Bambang Prakuso, BA, SSR, MPA
Gerakan Revolusi Mental berbasis Literasi