Haidar Bagir: Membedah Ilusi Identitas Arab di Indonesia
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 27 Juni 2023 07:25 WIB
Betapa tidak, bukankah identitas ini yang menyebabkan mereka diterima dan mendapatkan tempat yang baik di negeri Nusantara ini—dengan cara yang relatif mudah dan tak banyak membutuhkan kerja keras (labour) intelektual dan aktivistik, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka di zaman migrasi awal, sampai sebelum abad 19-an itu?
Saya tak akan lagi berpanjang-panjang dengan kata pengantar ini. Namanya juga kata pengantar. Maka, baiklah, saya silakan para pembaca untuk mendaras buku yang mencerahkan dan membuka mata kita ini tentang fenomena kearab-araban yang menguat belakangan ini di negeri kita.
Bukan saja penulis ingin menyatakan bahwa fenomena ini merupakan suatu kemunduran bagi kaum keturunan migran Hadramaut (Yaman), tetapi sesungguhnya identitas kearaban yang mereka gotong-gotong itu sesungguhnya secara historis adalah sebuah ilusi.
Identitas Arab sesungguhnya, menurut penulis buku ini, adalah identitas penutur bahasa Arab. Arab adalah suatu kategori bahasa, bukan ras, apalagi ras unggul. Arab meliputi berbagai bangsa dan ras yang berbeda-beda, persis seperti bangsa-bangsa dan ras lain.
Maka, menegaskan identitas Arab seolah-olah itu adalah suatu identitas monolitik adalah bukan saja suatu kemunduran, melainkan juga kesalahan. Malah itu bisa menjadi kontraproduktif bagi perkembangan dakwah Islam serta kesatuan dan integritas bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia telah memiliki identitas kenusantaraan, yang bukan cuma luhur, tetapi juga bukan tak sejalan dengan ajaran para habaib itu.
Bukankah interaksi antara Bangsa Nusantara dan bangsa Yaman (Hadramaut) sudah terjadi bahkan sejak sebelum masa Wali Songo, yakni di abad 12/13 bersama kunjungan Syekh Mas’ud al-Jawi ke negeri itu?
Dan bukankah sejak itu sesungguhnya pengaruh pemahaman Islam di Hadramaut sudah bekerja dalam perkembangan pemikiran Islam di Nusantara melalui Wali Songo dan para ulama pada era yang sama?
Juga pada era perkembangan faham Martabat Tujuh Wujudi atas banyak ulama Islam sejak Makassar (Syekh Yusuf Makasari), Aceh (setidaknya pada Syekh Nuruddin ar-Raniri dan para muridnya), sampai Jawa (Syekh Muhyiddin, K.H. Hasan Mustopha, dll.), hingga masa-masa sebelum pendirian NU sampai sekarang ini, yang di dalamnya para pendiri dan tokoh NU belajar dari para ulama Habaib dari Yaman, dan memakai buku-buku karya mereka di pesantren-pesantren yang mereka kembangkan?