Haidar Bagir: Membedah Ilusi Identitas Arab di Indonesia
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 27 Juni 2023 07:25 WIB
Dengan kata lain, mayoritasnya adalah ulama-ulama “Arab”. Jadi, lagi-lagi, sejak awal aliran ini sudah serba kearaban dan akan terus demikian.
Adanya arus baru “versi” Islam dari Yaman melalui kalangan habaib ini—dengan segala simbol kearaban/kehabaibannya (juga salafiyahnya)—secara cepat bisa merebut tempat dalam panggung dakwah Islam di Indonesia.
Hal ini dipermulus dengan adanya kepercayaan tradisional di kalangan NU—yang merupakan mayoriitas masyarakat Muslim di Indonesia—tentang kemuliaan keturunan Nabi Saw. dan keharusan taat kepada mereka.
Tanpa bermaksud mereduksi persoalan, apalagi bersikap sinis, dukungan masyarakat Muslim Indonesia ini sekaligus menguntungkan para pembentuk arus baru ini dalam memastikan posisi sosial-ekonomi yang baik bagi mereka.
Apalagi, pada kenyataannya, memang ada gejala kecenderungan penurunan pencapaian sosial-ekonomi di kalangan keturunan Yaman di negeri ini.
Saya sama sekali tak ingin mengatakan bahwa para ustadz keturunan Yaman ini telah berupaya memanipulasi orang dengan keustazannya demi mencari uang—meski penipu model ini selalu ada di kelompok mana pun—tetapi bahwa unsur keagamaan, sekali lagi, bertemu dengan unsur sosial-ekonomi di sini.
Kita memang tak bisa menyatakan bahwa dengan demikian keturunan Yaman di masa ini telah memisahkan diri dari pribumi san menjadi eksklusif. Tidak. Bukan saja mereka pada kenyataannya telah berusaha membaur, bahkan mereka diterima dengan sangat baik oleh “pribumi”—setidaknya di kalangan cukup banyak kelompok masyarakat ini.
Baca Juga: 5 Artis Indonesia yang Berkurban di Hari Raya Idul Adha 2023, Apakah Sapi Milik Irfan Hakim Paling Jumbo
Meskipun demikian, pada saat yang sama mereka seperti memperkuat identitas kearaban atau kehabiban mereka.