DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Koalisi Masyarakat Sipil Desak KPK Tuntaskan Kasus Korupsi di Basarnas Lewat Peradilan Umum

image
Koalisi Masyarakat Sipil Desa KPK Tuntaskan Kasus Korupsi Basarnas Lewat Peradilan Umum

ORBITINDONESIA.COM- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntaskan kasus korupsi di Basarnas, yang menyeret perwira TNI melalui peradilan umum.

Terdapat 3 poin besar yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan untuk KPK, sebagai dasar agar kasus dugaan korupsi di Basarnas tetap ditegakkan di peradilan umum. Bukan peradilan militer.

Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf menyebut, pertama KPK harus mengusut tuntas secara transparan dan akuntabel dugaan korupsi yang melibatkan Kepala Basarnas dan anak buahnya tersebut.

Baca Juga: Prediksi Skor Laga Pekan Ke 5 BRI Liga 1 Hadirkan Duel Klasik Persija Jakarta Melawan Persebaya Surabaya

Pengungkapan kasus ini, katanya, harus menjadi pintu masuk mengungkap kasus-kasus dugaan korupsi yg melibatkan prajurit TNI lainnya, baik di lingkungan internal maupun external TNI.

Kemudian KPK harus memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat dugaan korupsi di Basarnas ini.

KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi.

Baca Juga: Inilah Prediksi Skor Pertandingan RANS Nusantara FC Melawan PSS Sleman Pada Pekan Ke 5 BRI Liga 1

"Jangan sampai UU peradilan militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas," ujarnya, Jumat 28 Juli 2023 melalui keterangan tertulis yang diterima Orbit Indonesia.

Poin besar kedua, pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer karena selama ini sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum.

Apalagi agenda revisi UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh presiden Jokowi pada Nawacita periode pertama kekuasaannya.

Baca Juga: Kejaksaan Buka Ribuan Formasi CPNS 2023, Usia 18 Tahun Sudah Bisa Mendaftar, Ini Syarat Lengkapnya

Ketiga, pemerintah wajib mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di berbagai instansi sipil, terutama pada instansi yang jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU TNI, karena hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif tersebut.

"Seperti dugaan korupsi misalnya yang tidak bisa diusut secara cepat dan tuntas karena eksklusifisme hukum yang berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana," jelasnya.

Desakan tersebut disampaikan sejumlah lembaga yang tergabung di Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Seperti Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, AJI Jakarta dan sejumlah lembaga lain.

Sebelumnya, KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dugaan praktik korupsi tender salah satu proyek di Basarnas. KPK kemudian menetapkan 5 orang sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi.

Dimana dua diantaranya berlatar belakang militer aktif yaitu; Kepala Basarnas RI, Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.

Namun demikian, KPK justru meminta maaf atas penetapan tersangka ke dua prajurit TNI tersebut dan menyerahkan proses hukum terhadap keduanya kepada Puspom TNI dengan alasan yurisdiksi hukum keduanya sebagai militer aktif berada di bawah peradilan militer.

"Kami menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia," jelasnya.

Sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus (Korupsi), KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut.

KPK dinilai dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas _lex specialist derogat lex generalis_ (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum).

"Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf," jelasnya.***

Berita Terkait